News Breaking
MEDKOM LIVE
wb_sunny

Breaking News

Cerita CEO asal Jepang Shinsuke Sakimoto Menang Lelang Tas Birkin Rp 165 Miliar

Cerita CEO asal Jepang Shinsuke Sakimoto Menang Lelang Tas Birkin Rp 165 Miliar

Ketika palu lelang diketuk di Sotheby’s Paris bulan lalu, seisi ruangan langsung riuh dengan tepuk tangan dan sorakan. Ketukan palu itu menandai terjualnya tas tangan paling ikonik di dunia yakni Hermes Birkin pertama yang pernah dibuat.

Dalam lelang yang berjalan kurang dari 10 menit, tas tersebut terjual seharga 7 juta euro atau setara dengan USD 10,1 juta atau sekitar Rp 165 miliar.

Di saat yang bersamaan, di ujung sambungan telepon dengan jarak lebih dari 9.000 km dari Paris, pria bernama Shinsuke Sakimoto, CEO Valuence Holdings asal Jepang, masih terenyak kaget dan tidak percaya sebab ia baru saja membeli tas termahal dalam sejarah.

“Ini adalah pembelian termahal saya untuk satu barang,” kata Sakimoto kepada CNN, Senin (4/8) . “Saya sangat bersemangat, sampai mual rasanya," ujarnya.

Tas Ikonik yang Legendaris dan Bersejarah

Tas yang dibeli Sakimoto memang bukan Birkin biasa. Tas itu merupakan prototipe pertama yang dirancang langsung untuk aktris dan ikon gaya asal Inggris, Jane Birkin, oleh rumah mode Hermès pada tahun 1984. Ceritanya legendaris: Jane duduk di samping Jean-Louis Dumas, chairman Hermès saat itu, dalam penerbangan ke London. Ketika barang-barangnya tumpah dari tas Kelly miliknya, ia mengeluh tentang tas yang terlalu kecil. Dumas menyuruhnya menggambar desain tas ideal, dan Jane pun menggambar sketsa di kantong muntah pesawat.

Desain itulah yang melahirkan Birkin, tas tangan berdesain besar yang kini jadi simbol status global. Birkin pertama ini dibuat dari kulit hitam, dilengkapi dengan inisial “J.B.”. Jane mendekorasi tas itu dengan gunting kuku perak kecil yang menggantung di tali, karena Jane ingin kukunya selalu rapi. Ia memakainya hampir setiap hari selama hampir satu dekade, lalu melelangnya pada 1994 untuk mendukung riset AIDS.

Meskipun bukan kolektor Birkin sejati, Sakimoto tahu apa yang ia incar. Pria berusia 43 tahun itu menyaksikan lelang dari kantornya di Tokyo, sambil mengatur strategi dalam waktu yang bersamaan. “Saya bilang ke perwakilan saya di telepon: kalau ada yang menawar, balas dalam tiga sampai lima detik,” katanya. “Saya harus agresif.”

Ia menyebut para penawar lain sebagai “aite” (lawan) dan “teki” (musuh). Bahkan ketika harga mendekati batas atas yang ditetapkan timnya, Sakimoto bersikeras untuk terus maju. “Kami sempat berpikir soal dampak psikologis. Bagaimana cara membuat lawan menyerah.”

Gagal Jadi Pemain Bola Kini Jadi Raja Barang Preloved

Sakimoto bukan wajah lama di dunia mode. Ia pernah menjadi pemain sepak bola profesional di liga utama Jepang, meskipun hanya tampil dalam beberapa pertandingan sebelum akhirnya dilepas klub dan pensiun di usia 22 tahun.

Ia kemudian bekerja di bisnis barang bekas milik ayahnya, sebelum membuka toko preloved pertamanya di Osaka pada 2004. Tujuh tahun kemudian, ia mendirikan perusahaan Sou yang berkembang menjadi Valuence Holdings, perusahaan resale barang mewah dengan filosofi keberlanjutan.

Kini, Valuence punya jaringan penjualan barang preloved yang mencakup tas, perhiasan, jam tangan, dan bahkan barang seni dengan tetap mengusung komitmen sustainibility. Tahun lalu saja, mereka mengklaim telah mengurangi emisi karbon lebih dari 5 juta ton serta menghemat lebih dari 70 miliar galon air melalui sistem sirkular.

Jadi Strategi Marketing untuk Perusahaan

Walaupun Sakimoto menyebut pembelian ini sebagai mimpi yang jadi kenyataan, ia tidak menutupi bahwa ini juga strategi bisnis yang sangat strategis. Dalam beberapa tahun terakhir, pembelian lelang bernilai tinggi telah menjadi cara baru perusahaan membangun nama. Contohnya, pebisnis kripto Justin Sun yang membeli karya seni pisang milik Maurizio Cattelan seharga USD 6,2 juta lalu memakannya. Menariknya hal tersebut dilakukan demi publisitas.

Tas Birkin yang dibeli Sakimoto pun demikian. Menurutnya, secara teknis Birkin itu dimiliki oleh Valuence, bukan Sakimoto pribadi.

“Kita tahu sejak awal bahwa siapapun yang menang akan mencetak rekor. Artinya akan diberitakan di seluruh dunia.”

Ia memperkirakan, dari satu lelang ini saja, Valuence akan mendapatkan advertising value senilai miliaran yen atau setara puluhan juta dolar dalam satu dekade ke depan. Dengan kata lain, pembelian Birkin tersebut merupakan investasi Valuence dalam membangun citra brand.

Bukan untuk Dijual

Berbeda dari koleksi lainnya, Sakimoto menegaskan tas ini tidak akan dijual kembali. Ia bahkan menyebutnya sebagai benda seni yang ingin dirawat dan bagikan ke publik. Valuence sedang mempertimbangkan untuk memamerkan Birkin pertama ini di berbagai lokasi.

Tas ini sebelumnya pernah tampil di Museum of Modern Art (MoMA) di New York dan Victoria & Albert Museum di London, serta menarik ribuan pengunjung saat dipamerkan di Sotheby’s.

“Tujuan kami bukan untuk menyimpan warisan ini sebagai milik pribadi orang kaya,” katanya. “Kami ingin menciptakan model kepemilikan baru di mana masyarakat bisa ikut merasakan dan berbagi nilai sejarahnya.”

Merayakan Jane Birkin, dan Warisan yang Tertinggal

Meskipun awalnya tak terlalu tertarik dengan tas Birkin, Sakimoto mengaku makin terinspirasi saat mempelajari hidup Jane Birkin. “Semakin saya mengenal kisah hidup dan nilai-nilainya, saya merasa ada kemiripan dengan misi kami,” ucapnya. “Perannya sebagai ikon, sebagai seseorang yang menghidupkan makna dari benda yang ia pakai, sangat sejalan dengan filosofi bisnis kami.”

Sakimoto kini menyimpan tas berusia 41 tahun itu sebagai simbol ketahanan, sejarah, dan keberanian untuk bermimpi besar bahkan jika itu harus dimulai dengan harga miliaran dan perut yang mual.

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar