Memberi dengan Hati: Menyeimbangkan Cinta dan Kewajiban dalam Keluarga

Setiap Kamis sore, telepon saya berdering. "Halo, Ma," sapaku, sudah hafal ritual ini. Suara mama di ujung sana selalu riang, meski kadang terdengar capek. Kami ngobrol panjang: dari harga beras yang makin mahal, batuk mama yang suka datang malam, sampai keponakan yang pulang bawa nilai bagus.
Di akhir, saya selalu bilang, "Nanti saya kirim beras sama token listrik, ya, Ma." Mama cuma tertawa pelan, tapi saya tahu dia senang. Itu kebiasaan kami bertahun-tahun, sampai lima tahun lalu, telepon itu berhenti.
Mama pergi menyusul ayah sehari setelah menelepon saya usai saya menderita covid delta yang ganas kala itu. Mama pergi tidak dalam keadaan sakit parah, hanya mengeluh sesak nafas dan dalam waktu hanya setengah jam ia pergi selamanya. Saya tidak bisa pulang untuk memeluk dan memakamkan mama terakhir kalinyanya karena sedang masa covid yang melarang semua warga bepergian.
Setelah mama pergi dini hari 02 Februari 2020 baru saya sadar bahwa memberi itu bukan cuma soal uang, tapi soal hati, perhatian kecil bahkan sekadar say hello melalui telepon. Kesadaran yang terlambat seperti ini sudah menjadi refrein yang alami dialami hampir banyak orang.
*
Jauh hari sebelum menikah, cara saya memberi orang tua tidak berupa uang. Tetapi melalui buku-buku yang saya tulis. Saya kirimkan 100 eks untuk bapak saya almarhum. Bapak akan dengan bangga menjualkan buku-buku itu kepada para mantan muridnya, para teman gurunya dengan rasa bangga. Ya, dengan cara sederhana saya ingin menebus kebanggaan bapak yang tertunda karena saya memilih untuk tidak jadi imam atau pastor katolik. Saya ingin memberikan bapak rasa bangga saat menawarkan buku, "Ini buku yang ditulis anak kita." Dalam kata-kata itu ada kebanggaannya sebagai seorang ayah, apalagi di tengah umat mayoritas katolik yang anaknya gagal menjadi imam itu menjadi semacam "aib".
Dari 100 buku per judul (beberapa judul yang saya tulis sebelum tahun 2007) Bapak bisa membeli genset dan alat pertukangan (listrik). Saya tak pernah meminta Bapak mengirimkan hasil jualan buku-buku itu. Saya "bon" di penerbit lalu mencicilnya dengan gaji atau bonus kerja. Begitulah cara sederhana dalam memberi perhatian kepada orang tua: memberi rasa bangga, rasa nyaman dan juga perhatian kecil.
***
Bagi saya pribadi dan mungkin bagi banyak orang, ini adalah rutinitas penuh makna, ritual yang menunjukkan kasih sayang pada orang tua. Tapi, ketika seseorang menikah dan membangun keluarga baru, memberi menjadi lebih rumit. Bukan lagi sekadar soal hati, tapi juga soal keseimbangan, komunikasi, dan kebijaksanaan.
Memberi kepada orang tua sering kali dianggap sebagai kewajiban moral, bahkan bahasa cinta yang tak terucapkan. Namun, di tengah tanggung jawab sebagai pasangan atau orang tua, muncul dilema: bagaimana memenuhi kebutuhan keluarga besar tanpa mengorbankan keluarga inti? Banyak yang menghadapi situasi ini.
Ada yang merasa harus memberi lebih karena orang tuanya sakit, ada yang tertekan karena pasangan tidak mendukung, dan ada pula yang merasa bersalah karena kebutuhan anak-anak terabaikan. Lalu, bagaimana caranya tetap berbakti, adil, dan menjaga harmoni rumah tangga? Berikut beberapa cara yang bisa jadi pegangan.
Mulai dari Komunikasi, Bukan dari DompetKonflik soal memberi sering muncul bukan karena jumlah uangnya, tapi karena kurangnya pembicaraan. Sebelum menikah, pasangan mungkin pernah sepakat, "Nanti kita bantu orang tua, ya." Tapi, apa arti "bantu"? Berapa jumlahnya? Seberapa sering? Tanpa kejelasan, kesepahaman ini bisa jadi sumber masalah.
Coba duduk bersama pasangan, bicara dengan terbuka. Tanyakan, "Apa kekhawatiranmu kalau kita bantu orang tua lebih banyak?" Mungkin jawabannya, "Aku takut tabungan anak kurang," atau "Aku khawatir kalau ada kebutuhan mendadak." Dengarkan. Lalu, sampaikan juga kekhawatiran sebaliknya: "Aku takut menyesal kalau orang tuaku butuh, tapi aku tak membantu." Dari situ, buat kesepakatan konkret, misalnya menyisihkan 10% dari pendapatan untuk keluarga besar, dibagi rata untuk kedua belah pihak. Jika ada kebutuhan mendesak, diskusikan ulang. Komunikasi yang jujur adalah fondasi keseimbangan.
Adil Bukan Berarti Sama RataMemberi kepada orang tua bukan soal membagi jumlah yang sama persis untuk kedua belah pihak. Kondisi keluarga bisa sangat berbeda. Misalnya, jika orang tua salah satu pihak sudah pensiun dan sakit-sakitan, sementara pihak lain masih bekerja dan mandiri, wajar jika bantuan disesuaikan dengan kebutuhan. Yang penting, pasangan merasa dihargai dan didengar.
Misalnya, membantu mertua dengan membayar tagihan listrik saat Lebaran atau membantu biaya kuliah adik ipar bisa jadi cara menunjukkan perhatian tanpa memihak. Adil itu soal memahami kebutuhan masing-masing, bukan soal angka yang seragam.
Cinta Lebih dari Sekadar UangSebuah artikel di The Atlantic pernah menulis, anak dewasa berutang pada orang tua lebih dari sekadar uang. Waktu, perhatian, dan kehadiran sering kali jauh lebih berarti. Banyak orang tua lebih bahagia saat anaknya datang, duduk bersama, mendengarkan cerita masa kecil, atau sekadar jalan pagi keliling komplek, ketimbang hanya menerima transfer tanpa obrolan.
Jika pasangan merasa keberatan dengan jumlah bantuan finansial, tawarkan alternatif. "Bagaimana kalau kita lebih sering menjenguk? Atau bantu urus dokumen BPJS mereka?" Tindakan sederhana ini bisa meringankan beban finansial sekaligus menunjukkan kasih sayang yang tulus.
Menghormati Orang Tua dengan BijaksanaDalam ajaran Katolik, perintah "Hormatilah ayahmu dan ibumu" (Keluaran 20:12) adalah panggilan suci. Namun, bagi yang sudah berkeluarga, perintah ini harus dijalani dengan keseimbangan. Efesus 5:25 mengingatkan suami untuk mengasihi istri seperti Kristus mengasihi gereja. Paus Fransiskus, dalam Amoris Laetitia, menekankan bahwa kasih harus diatur dengan kebijaksanaan, tidak boleh mengabaikan orang tua, tapi juga tidak boleh mengorbankan keluarga inti.
Memberi kepada orang tua harus sesuai kemampuan, tanpa mengesampingkan kebutuhan anak atau pasangan. Misalnya, jika ada kebutuhan mendesak seperti biaya operasi keluarga besar, ajak pasangan berdiskusi. Bahkan, libatkan orang tua dalam pembicaraan jika perlu. Kadang, empati tercipta saat semua pihak saling mendengar. Seorang anak yang baik menghormati orang tua dengan doa, kunjungan, dan bantuan, tapi seorang pasangan yang bijak memastikan keluarga intinya tetap terlindungi.
Penutup: Memberi dengan Cinta, Menjaga dengan HatiMemberi kepada orang tua adalah soal rasa, syukur, terima kasih, dan keinginan membalas jasa yang tak ternilai. Tapi, ketika sudah berkeluarga, memberi harus dibarengi kebijaksanaan. Komunikasi terbuka, kesepakatan adil, dan tindakan tulus adalah kuncinya.
Pada akhirnya, yang dikenang bukan jumlah rupiah di rekening, tapi momen-momen kecil: telepon di sore hari, obrolan sambil minum kopi, atau pelukan sederhana sembari berkata, "Terima kasih, Ma, Pa." Itu adalah bahasa cinta yang tak bisa dibeli, hanya bisa diberikan dengan hati.
Posting Komentar