Warga Sambut Baik Komnas HAM Kaji Ulang Relokasi TNTN Pelalawan

Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan, Riau, merupakan kawasan konservasi penting yang menjadi rumah bagi gajah Sumatera dan berbagai spesies flora dan fauna langka lainnya. Namun, keberadaan TNTN juga menyimpan permasalahan kompleks terkait hak masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Konflik dan Relokasi Masyarakat
Baru-baru ini, kebijakan relokasi mandiri terhadap warga yang tinggal di kawasan TNTN menjadi sorotan tajam. Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) melakukan penyitaan lahan yang diklaim masuk wilayah TNTN, ditandai dengan perobohan tanaman sawit dan penanaman pohon. Sekitar 30 ribu jiwa dari enam desa diminta untuk meninggalkan kawasan tersebut dengan batas waktu yang ditentukan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan pemantauan langsung di lapangan dan menemukan beberapa fakta penting. Sebagian besar lahan sawit yang kini dipermasalahkan dulunya merupakan bekas izin usaha pemanfaatan hutan (IUHHK-HA) yang kemudian menjadi lahan terlantar. Akses jalan yang dibuka oleh perusahaan sejak awal tahun 2000-an, ditambah praktik hibah lahan oleh tokoh adat, mendorong masuknya pendatang untuk membuka kebun sawit.
Selama bertahun-tahun, masyarakat lokal dan pendatang tidak hanya bertanam sawit, tetapi juga membangun fasilitas penting seperti sekolah, rumah ibadah, pemakaman, dan menjalani kehidupan layaknya sebuah desa. Komnas HAM juga menemukan adanya posko Satgas PKH dengan personel berseragam dan kendaraan berlogo TNI. Satgas memasang papan pengumuman relokasi mandiri, namun tanpa surat resmi yang ditujukan kepada masing-masing warga. Bahkan, sempat muncul larangan penerimaan murid baru di sekolah, yang kemudian dibatalkan setelah adanya protes dari warga.
Penolakan Warga dan Pelanggaran HAM
Warga menolak relokasi dengan alasan telah lama menetap dan menggantungkan hidup dari kebun sawit yang produktif. Mereka juga tidak mendapatkan tawaran kompensasi atau kepastian lokasi tujuan relokasi. Komnas HAM menilai bahwa himbauan relokasi tanpa kejelasan lokasi tujuan dapat menyebabkan masyarakat kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian, yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Komnas HAM berpendapat bahwa tindakan tersebut melanggar hak atas tempat tinggal dan kehidupan layak, yang dijamin dalam Undang-Undang tentang HAM dan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Rekomendasi Komnas HAM
Menyikapi situasi ini, Komnas HAM memberikan empat rekomendasi penting:
- Peninjauan Ulang Batas Waktu Relokasi: Komnas HAM mendesak agar batas waktu relokasi mandiri ditinjau ulang sampai adanya perlindungan prosedural yang konkret untuk menghindari konflik.
- Perumusan Kebijakan Berbasis Kajian Komprehensif: Komnas HAM mendorong perumusan kebijakan penertiban hutan yang didasarkan pada kajian komprehensif, termasuk hasil kajian Tim Revitalisasi Ekosistem TNTN dan Konsultasi Nasional Krisis Tenurial.
- Perlindungan Prosedural bagi Masyarakat Terdampak: Komnas HAM menekankan pentingnya memberikan perlindungan prosedural bagi masyarakat terdampak, terutama melalui konsultasi yang tulus, pemulihan hukum, serta penyediaan alternatif tempat tinggal dan penghidupan yang layak.
- Menghindari Kekuatan Berlebihan dan Pendekatan Militer: Komnas HAM meminta agar penggunaan kekuatan berlebihan dan simbol militer dihindari, serta mengedepankan pendekatan kemanusiaan melalui aparat sipil.
Komnas HAM menegaskan bahwa solusi komprehensif sangat dibutuhkan agar penertiban kawasan hutan tidak menimbulkan pelanggaran hak asasi masyarakat yang telah lama bermukim di kawasan Tesso Nilo.
Suara Masyarakat Terdampak
Juru bicara warga terdampak TNTN yang tergabung dalam Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan Riau, Abdul Aziz, mengapresiasi rekomendasi Komnas HAM. Ia berharap penyelesaian masalah TNTN dapat dilakukan secara komprehensif, mengedepankan aturan yang ada. Aziz menolak adanya tekanan, pemaksaan kehendak, atau intimidasi dalam penyelesaian masalah ini.
Aziz mengkritik keberadaan aparat militer bersenjata di kawasan TNTN, yang menurutnya justru akan memperkeruh suasana. Ia mempertanyakan maksud dari keberadaan pos militer bersenjata di sana, bahkan di lokasi plang penyitaan.
Menurut Aziz, pembentukan TNTN sejak awal sudah melanggar aturan, termasuk pelanggaran terhadap peraturan tentang rencana tata ruang nasional. Ia juga menyoroti adanya pembiaran oleh pihak kehutanan setelah TNTN terbentuk. Ia juga menyayangkan bahwa masyarakat kemudian dipersalahkan dan dituduh sebagai perambah.
Aziz mengungkapkan fakta bahwa areal yang kini disebut TNTN telah menjadi areal penebangan kayu oleh perusahaan-perusahaan yang diberikan izin HPH oleh kehutanan sejak lama, bahkan sejak tahun 1974. Ia juga menyoroti adanya lahan seluas 153 ribu hektar di dalam TNTN yang dikuasai secara melanggar hukum oleh 13 perusahaan. Ia menuding pelanggaran hukum ini dilakukan bersama-sama dengan pihak kehutanan, yang mengakibatkan kerugian negara triliunan rupiah. Aziz mempertanyakan mengapa kasus ini tidak diproses, sementara masyarakat terus dikejar-kejar.
Mencari Solusi yang Adil dan Berkelanjutan
Permasalahan di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo menunjukkan betapa kompleksnya isu konservasi dan hak masyarakat adat. Diperlukan solusi yang adil dan berkelanjutan, yang mempertimbangkan kepentingan semua pihak. Penegakan hukum harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, dengan menghormati hak asasi manusia dan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitarnya.
Posting Komentar