Galah dan Permainan Tradisional Atasi Kecanduan Gawai Anak SD Bandung Barat

Lahan merah di depan Gedung Sekolah Dasar Negeri Cibungur, kelas jauh Cijuhung sudah siap menjadi tempat pertandingan. Garis-garis putih dari lebu atau abu dapur telah membagi lapangan kecil itu menjadi area permainan yang berpetak-petak.
Empat belas siswa sekolah dasar yang tinggal di daerah terpencil mulai memasuki medan pertandingan. Mereka dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing terdiri dari tujuh orang. Dua perwakilan dari setiap tim memulai proses undian dengan mengadu jari untuk menentukan siapa yang berhak tampil lebih dulu.
Akhirnya, anggota tim yang menang keluar dari garis paling depan untuk memulai pertandingan. Sementara anggota tim yang kalah mulai membagi tugas menjaga setiap garis agar tidak bisa ditembus oleh lawan. Perlahan perlahan anggota tim yang menang memasuki garis pertama dan dihadang oleh para penjaga di setiap garis.
Tawa mulai terdengar ketika para penjaga mulai kecolongan atau garis pertahanan bisa ditembus. Ketika satu lini berhasil ditembus, lini dan penjaga berikutnya sudah siap menantang.
"Jangan terburu-buru, Tong Sologoto," kata seorang guru memberi peringatan kepada murid yang tergesa-gesa itu.
Berikut aktivitas siswa sekolah yang berada di Kampung Cijuhung, Desa Margaluyu, Kecamatan Cipeundeuy, KBB pada hari Rabu tanggal 8 Oktober 2025. Pada saat istirahat, para siswa bermain galah atau galasin di halaman sekolah mereka.
Ternyata, kegiatan bermain tradisional di bantu oleh guru-guru dari sekolah jauh. Ivan Abdurrahman Juniato, 35 tahun, salah seorang pengajar menyampaikan, permainan tradisional memang diperkenalkan kepada siswanya karena memiliki banyak manfaat.
"Baik untuk motorik halus, belajar bekerja sama," ujar Ivan di sekolah tersebut, Rabu 8 Oktober 2025.
Selain pelajaran olahraga, permainan tradisional seperti galah dan boy-boyan juga dilakukan di halaman sekolah.
Manfaat tambahan dari permainan tradisional adalah siswa menjadi lebih sehat. Mereka yang terlibat dalam permainan tersebut diwajibkan untuk berlari, menggerakkan tangan mereka serta harus fokus.
Kehadiran permainan anak-anak membantu mereka untuk berdiet atau mengurangi penggunaan perangkat digital. Daripada terus-menerus memegang ponsel untuk bermain game atau berselancar di media sosial, siswa lebih aktif beraktivitas sehat di luar kelas dan rumah dengan bermain permainan tradisional. Dengan demikian, kemungkinan siswa kecanduan gawai dapat diminimalkan.
Pada siang hari, galah tidak hanya diikuti oleh siswa SD. Sejumlah siswa SMP Satu Atap Rimbakarya kelas jauh Cijuhung juga turut serta bermain. Karena lokasinya yang terpencil dan berada di ujung wilayah KBB yang berbatasan langsung dengan Cianjur, para siswa SMP tersebut melakukan kegiatan belajar dengan menyewa bangunan SDN Cibungur kelas jauh Cijuhung.
Muhammad Rizki, berusia 12 tahun, siswa kelas VI SD yang mengikuti kelas jauh mengakui lebih suka bermain permainan tradisional seperti galah daripada menggunakan perangkat elektronik. Menurut Rizki, bermain galah lebih menyenangkan dibandingkan bermain game di ponselnya.
Literasi digital
Meskipun membatasi penggunaan perangkat digital, Ivan Abdurrahman mengatakan siswanya tetap terbiasa dengan dunia internet. Namun, pembelajaran tersebut dilengkapi dengan pendidikan mengenai keamanan serta langkah-langkah untuk mencegah konten negatif.
Salah satu cara pemaparannya dilakukan dengan menayangkan video YouTube melalui koneksi internet di sekolah menggunakan laptop dan proyektor. "Pengenalan tentang erosi abrasi, yaitu fenomena alam, diperkenalkan kepada siswa melalui YouTube," kata Ivan.
Ya, melalui video yang membahas gejala atau bencana alam, siswa dapat memahami lebih baik hal-hal yang berkaitan dengan pelajaran di sekolahnya. Selain itu, berbagai pesan mengenai materi yang bermanfaat maupun negatif disampaikan oleh Ivan kepada siswanya.
Demikian pula peran orang tua siswa dalam mendidik anak-anaknya. Pada pertemuan antara sekolah dan orang tua siswa, guru menjelaskan pengelolaan gawai. Ivan meminta orang tua untuk ikut mengawasi dan mendampingi anak-anaknya saat menggunakan gawai dan mengakses internet.
Solusi untuk menciptakan ruang digital yang ramah anak tampaknya tidak perlu dicari terlalu jauh. Kearifan lokal seperti permainan tradisional anak bisa menjadi jawabannya.***
Posting Komentar