News Breaking
MEDKOM LIVE
wb_sunny

Breaking News

Kalau Sah Tak Perlu Gelisah, Kalau Benar Jangan Gentar

Kalau Sah Tak Perlu Gelisah, Kalau Benar Jangan Gentar

Sebuah Refleksi tentang Kejujuran, Akal Sehat, dan ke-Tuhanan dalam Kehidupan Publik

Di Tengah Riuh yang Tak Lagi Mengenal Malu

Kehidupan publik kita hari ini seolah menjadi panggung besar yang terus menayangkan satu lakon yang sama: kebohongan yang dipentaskan sebagai kebenaran. Dari ruang politik hingga ruang akademik, dari forum diskusi di layar kaca hingga percakapan sehari-hari di media sosial, kita menyaksikan satu pola yang berulang: yang benar diserang habis-habisan, sementara yang salah dibela mati-matian.

Narasi diproduksi secara massal tanpa standar moral yang jelas. Debat publik yang seharusnya menjadi sarana pencerdasan justru berubah menjadi industri konflik verbal — ramai, panas, penuh sensasi, tetapi miskin makna. Di satu pihak ada yang membela pendapatnya dengan label “ilmiah” dan “berbasis fakta”, sementara di pihak lain bantahan keras disusun dengan klaim “kebenaran versi mereka sendiri”. Yang ironis, wajah-wajah yang tampil pun itu-itu saja: orang-orang yang seolah merasa memiliki lisensi untuk berbicara tentang apa pun, meskipun terkadang jauh dari substansi persoalan.

Keadaan seperti ni bukan fenomena tunggal. Ia menjalar ke seluruh lini kehidupan: mulai dari polemik ijazah, data energi dan minyak, kebijakan pajak, hingga pengelolaan anggaran negara. Ketika satu pihak mencoba melakukan koreksi, pihak lain membantah, dan seluruh barisan pembelanya ikut bersuara. Yang tersisa hanyalah kegaduhan. Sementara rakyat — yang semakin terhimpit oleh kehidupan — hanya bisa menjadi penonton dari pertunjukan panjang yang tak pernah selesai.

Kejujuran yang Tergusur dari Panggung Kehidupan

Satu sebab utama dari semua kekacauan itu sesungguhnya sederhana: kejujuran telah digeser dari posisi terhormatnya sebagai fondasi kehidupan.

Hari ini, kejujuran tidak lagi dianggap sebagai standar moral. Yang menjadi ukuran adalah bagaimana memenangkan kompetisi, bagaimana menyingkirkan rival, dan bagaimana tetap bertahan dalam lingkaran kekuasaan atau popularitas — tak peduli caranya.

Kemenangan menjadi tujuan, sementara kejujuran dianggap kemewahan. Maka tidak heran jika kebohongan dijahit rapi menjadi narasi, disebarkan secara masif, dan dipertahankan dengan segala cara. Lebih parah lagi, ada yang begitu terbiasa berdusta hingga percaya pada kebohongan yang mereka ciptakan sendiri.

Padahal, kejujuran bukan sekadar nilai sosial yang dianjurkan — ia adalah fondasi etis dari seluruh peradaban manusia. Sejak awal sejarah, semua sistem nilai, hukum, dan kebajikan berdiri di atas satu prinsip yang sama: tanpa kejujuran, tidak ada kepercayaan; tanpa kepercayaan, tidak ada kehidupan bersama.

Kejujuran menjadi pondasi dari setiap tindakan baik: ia meredam niat jahat sebelum tumbuh, mencegah penipuan sebelum terjadi, dan menjaga manusia agar tidak terperosok ke dalam kemunafikan. Ia bukan sekadar sifat mulia, tetapi prasyarat bagi peradaban yang sehat dan relasi sosial yang bermartabat.

Dan ketika kejujuran hilang, yang ikut lenyap adalah rasa malu. Jika seseorang tidak lagi malu pada dirinya sendiri, ia akan memandang rendah orang lain. Ia akan menganggap orang lain sebodoh dirinya, dan dengan ringan menipu mereka tanpa rasa bersalah. Inilah awal dari kehidupan tanpa adab — kehidupan yang kehilangan arah karena kehilangan kompas moralnya.

“No Place to Hide” – Era Ketelanjangan Informasi

Kita hidup di zaman yang disebut era keterbukaan informasi. Tidak ada lagi yang benar-benar bisa ditutupi. Data, rekam jejak, bahkan jejak digital masa lalu — semuanya bisa terungkap dalam hitungan detik. Tidak ada tempat sembunyi. No place to hide.

Ironisnya, justru di era keterbukaan inilah kebohongan diproduksi dengan lebih masif. Banyak orang tetap mencoba menipu diri sendiri dengan narasi yang mereka tahu tidak benar. Mereka menutup mata terhadap kenyataan, lalu berusaha meyakinkan publik dengan kebohongan yang sudah mereka yakini sendiri.

Ketiadaan rasa malu menjadi bahan bakar kedua setelah hilangnya kejujuran. Di titik ini, seseorang bisa hidup tanpa batas moral. Ia tak lagi peduli pada dosa atau akibat. Ia menganggap semua orang bisa dibohongi, dan semua kesalahan bisa ditutup dengan narasi. Padahal, dalam kacamata iman, inilah bentuk penafian terhadap eksistensi Tuhan.

Tuhan Tidak Bisa Ditipu

Ketika seseorang tidak lagi memiliki kesadaran bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri — entah itu prinsip kebenaran, nurani, hukum alam, atau nilai moral yang tak bisa ditipu — maka segala perilaku buruk menjadi mungkin.

Mereka yang merasa bisa menyembunyikan kebohongan sesungguhnya telah mengabaikan realitas bahwa kebenaran selalu punya cara untuk terungkap. Kebohongan mungkin menipu manusia dalam waktu tertentu, tetapi ia tidak akan pernah menipu hukum kehidupan itu sendiri, karena cepat atau lambat, kenyataan akan membongkarnya

Sejarah panjang kehidupan manusia telah menunjukkan satu kenyataan yang tak terbantahkan: kebohongan selalu dimulai dari penipuan terhadap diri sendiri. Seseorang mungkin berhasil menipu orang lain untuk sementara waktu, tetapi sesungguhnya ia sedang menipu dirinya sendiri — menolak kebenaran yang sebenarnya ia tahu.

Sering kali, orang yang membangun kebohongan akan hidup dalam ilusi yang ia ciptakan sendiri, hingga ia tidak lagi mampu membedakan antara realitas dan narasi yang ia karang. Pada titik itu, ia bukan hanya merugikan orang lain, tetapi juga merusak integritas dirinya sendiri.

Kebohongan bukan hanya soal etika sosial — ia adalah bentuk kemunafikan spiritual. Saat seseorang terus-menerus membohongi orang lain, pada dasarnya ia sedang membohongi dirinya sendiri. Dan ketika seseorang tidak lagi takut kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, maka semua bentuk kebohongan akan tampak seperti “kemenangan.”

Saatnya Takut Kepada Tuhan, Bukan Kepada Kalah

Kita perlu mengembalikan dua hal ke tempat terhormatnya: kejujuran dan rasa malu.

Kejujuran menjaga niat kita tetap bersih. Ia membuat kita kuat berdiri di pihak yang benar meski harus sendirian. Sementara rasa malu membuat kita sadar batas — bahwa ada hal-hal yang tidak layak dilakukan, meskipun tidak ada yang melihat.

Jika dua hal ini hilang, maka yang tersisa hanyalah masyarakat yang riuh oleh debat tanpa makna, penuh dengan konflik verbal, dan terus-menerus terpecah oleh kebohongan yang dikemas rapi.

Kita akan hidup di dunia yang penuh suara, tetapi miskin nurani.

Maka, kembali ke kutipan awal yang sederhana namun penuh makna:

Kalau sah, tak perlu gelisah. Kalau benar, jangan gentar. Kalau bersih, tak perlu risih.

Karena jika kita jujur, kita tidak perlu takut pada tuduhan.

Jika kita benar, kita tidak perlu gentar menghadapi fitnah.

Dan jika kita bersih, kita tidak perlu risih dengan segala kebisingan.

Yang perlu kita takuti hanyalah Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya Dia yang tahu seluruh isi qalbu, dan hanya Dia yang akan membalas setiap perbuatan — baik di dunia maupun di akhirat. Dan jika kita tidak lagi takut kepada-Nya, mungkin saja kita telah menyembah “tuhan” lain yang bernama nafsu, kekuasaan, atau kepentingan diri.

Na‘ūdzubillāhi min dzālik.

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar