News Breaking
MEDKOM LIVE
wb_sunny

Breaking News

Keluarga Korban Ponpes Al Khoziny Kembalikan Santunan, Harapkan Rida Para Kiai

Keluarga Korban Ponpes Al Khoziny Kembalikan Santunan, Harapkan Rida Para Kiai

RUBLIK DEPOK – Tragedi ambruknya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, masih menyisakan duka mendalam bagi para keluarga korban. Namun di tengah kesedihan tersebut, muncul sikap mengharukan dari salah satu keluarga korban yang memilih mengembalikan uang santunan yang diberikan oleh pihak pesantren.

Keluarga Korban Tolak Santunan demi Rida Para Kiai

Dewan Pengasuh Pesantren Al Khoziny, KHR Muhammad Ubaidillah Mujib atau yang akrab disapa Kiai Mamad, menjelaskan bahwa santunan diberikan sebagai bentuk duka cita dan tanggung jawab moral kepada keluarga santri yang meninggal dunia. Uang tersebut juga dimaksudkan untuk membantu biaya pemulangan jenazah ke kampung halaman masing-masing.

Salah satu penerima santunan adalah keluarga Sholeh, santri asal Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung. Namun, sang kakak, Abdul Fattah, justru memutuskan untuk mengembalikan santunan tersebut.

“Kami tidak mau menerima santunan itu bukan karena apa-apa, hanya ingin mendapatkan ridanya kiai dan guru di pesantren,” ujar Abdul dengan suara lirih. Ia menambahkan, yang paling penting bagi keluarga mereka bukanlah uang, melainkan keberkahan dan doa dari para guru di pesantren tempat adiknya menimba ilmu.

“Semoga doa dan ridho beliau menjadi keberkahan bagi almarhum dan keluarga kami yang ditinggalkan,” lanjutnya.

Doa dan Permohonan Maaf dari Pihak Pesantren

Kiai Mamad sendiri turut menyampaikan belasungkawa mendalam kepada keluarga para korban. Ia menyebut para santri yang wafat dalam musibah tersebut sebagai syahid, karena meninggal dunia dalam keadaan beribadah dan menuntut ilmu agama.

“Semoga almarhum Sholeh wafat dalam keadaan husnul khotimah, karena meninggal saat salat dan dalam posisi sebagai penuntut ilmu,” ujarnya.

Pihak pesantren juga menyampaikan bahwa santunan tersebut bukan bentuk kompensasi, melainkan wujud empati dan rasa tanggung jawab moral atas tragedi yang tak diinginkan itu.

Tragedi yang Menyisakan Luka dan Keteguhan Iman

Peristiwa ambruknya bangunan musala di Pondok Pesantren Al Khoziny terjadi pada Senin (29 September 2025), tepat saat para santri sedang melaksanakan salat asar. Suasana khusyuk berubah menjadi kepanikan saat atap bangunan runtuh dan menimpa ratusan santri di dalamnya.

Hingga hari kedelapan pascakejadian, BNPB mencatat ada 156 korban. Dari jumlah tersebut, 104 orang selamat, sementara 52 lainnya meninggal dunia, termasuk lima bagian tubuh yang ditemukan di lokasi. Proses evakuasi pun masih terus dilakukan untuk mencari korban yang diduga masih tertimbun di bawah reruntuhan.

Tragedi ini menggugah banyak pihak untuk membantu, baik melalui doa, bantuan kemanusiaan, hingga dukungan psikologis bagi keluarga korban. Namun, keputusan keluarga Abdul Fattah untuk menolak santunan demi mencari rida kiai menjadi potret ketulusan dan keikhlasan dalam menerima takdir.

Refleksi di Tengah Duka

Peristiwa ini bukan hanya tragedi fisik, tetapi juga ujian spiritual bagi para santri dan keluarga korban. Banyak masyarakat menilai sikap keluarga tersebut menunjukkan keyakinan bahwa keberkahan doa seorang guru jauh lebih berharga dari materi.

Kini, reruntuhan pesantren mulai dibersihkan. Namun, luka batin dan kenangan akan para santri yang gugur dalam ibadah masih menyelimuti Sidoarjo. Para keluarga berharap agar tragedi ini menjadi pelajaran besar bagi semua pihak untuk lebih memperhatikan keselamatan dan kualitas bangunan lembaga pendidikan agama di masa mendatang.

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar