Rekor Terpanjang dalam Sejarah, Shutdown AS Masuki Hari ke-35 Tanpa Titik Terang

, JAKARTA — Penutupan pemerintahan Amerika Serikat atau government shutdown memasuki hari ke-35, menyamai rekor terpanjang dalam sejarah, di tengah kebuntuan antara Partai Republik dan Demokrat soal anggaran.
Melansir Reuters pada Rabu (5/11/2025), dampak shutdown semakin meluas. Bantuan pangan untuk warga berpenghasilan rendah dihentikan untuk pertama kalinya, sementara pegawai federal di berbagai sektor—mulai dari bandara, penegak hukum, hingga militer—tidak menerima gaji. Aktivitas ekonomi pun terganggu akibat terbatasnya publikasi data resmi pemerintah.
Senat AS telah menolak lebih dari selusin rancangan anggaran sementara yang disetujui DPR, dan belum ada perubahan sikap dari kedua kubu.
Partai Republik, yang memegang 53 kursi di Senat, membutuhkan dukungan sedikitnya tujuh anggota Demokrat untuk mencapai ambang 60 suara guna meloloskan sebagian besar legislasi. Namun, Partai Demokrat menolak memberikan dukungan tanpa jaminan perpanjangan subsidi asuransi kesehatan.
“Korban dari shutdown yang dipicu Demokrat terus bertambah. Pertanyaannya, sampai kapan mereka akan menahan ini—sebulan, dua, atau tiga bulan lagi?” ujar Pemimpin Mayoritas Senat dari Partai Republik, John Thune.
Sementara itu, Pemimpin Minoritas Demokrat Chuck Schumer menyoroti perhatian Trump yang dinilai tidak fokus pada isu utama.
“Ketika Donald Trump sibuk membanggakan renovasi kamar mandi di Gedung Putih, rakyat Amerika justru cemas memikirkan cara membayar asuransi kesehatan tahun depan,” sindir Schumer.
Meski begitu, sumber di Senat menyebut ada tanda-tanda kemajuan dalam pembicaraan tertutup antara kedua partai.
Shutdown Terpanjang dalam Empat Dekade
Shutdown ke-15 sejak 1981 ini mencatat sejarah, bukan hanya karena lamanya durasi, tetapi juga karena peran yang terbalik: biasanya Partai Republik yang memicu penutupan pemerintahan, kini justru Partai Demokrat yang menolak rancangan dana sementara.
Kondisi politik Amerika Serikat yang sangat terpolarisasi membuat negosiasi hampir mustahil dilakukan.
“Ketegangan antarpartai sudah sangat dalam sejak awal, dan hingga kini masih belum banyak berubah,” ujar Direktur Kebijakan Ekonomi di Bipartisan Policy Center, Rachel Snyderman.
Sekitar 42 juta warga AS penerima bantuan pangan melalui program SNAP kehilangan dukungan pada Sabtu (1/11/2025) lalu. Pemerintah hanya berjanji akan menyalurkan sebagian bantuan pangan untuk November 2025, tetapi memperingatkan bahwa prosesnya bisa memakan waktu berminggu-minggu.
Program pendidikan anak usia dini Head Start untuk keluarga berpenghasilan rendah juga terancam berhenti akibat tidak tersedianya dana baru sejak 1 November 2025.
Pegawai federal, termasuk aparat keamanan, anggota militer, serta petugas bandara, kini menanggung dampak langsung karena tidak menerima gaji. Kondisi ini menyebabkan kekurangan staf dan keterlambatan penerbangan—lebih dari 3,2 juta penumpang mengalami gangguan perjalanan sejak shutdown dimulai.
Kantor Anggaran Kongres (CBO) memperkirakan penutupan ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi hingga US$11 miliar jika berlangsung seminggu lagi.
Selama shutdown, Trump lebih banyak fokus pada isu luar negeri—mulai dari Gaza hingga Rusia dan Asia—namun belakangan ia menyerukan agar Partai Republik menghapus ambang batas 60 suara (filibuster) di Senat demi mempercepat pengesahan kebijakan.
“Jika kami hapus filibuster, semua kebijakan bisa disetujui. Jika tidak, Partai Demokrat akan diuntungkan dalam pemilu mendatang,” tulis Trump di media sosial.
Namun demikian, John Thune dan sejumlah senator senior Republik menolak usulan tersebut.
Survei Reuters/Ipsos menunjukkan bahwa publik menyalahkan kedua partai atas krisis ini: 50% responden menilai Partai Republik paling bertanggung jawab, sedangkan 43% menyalahkan Partai Demokrat.
Tiga senator Demokrat moderat bahkan memilih berpihak pada Partai Republik untuk membuka kembali pemerintahan, dengan alasan kerugian ekonomi dan sosial lebih besar dibanding manfaat politik jangka panjang. Senator Partai Demokrat Andy Kim dari New Jersey mengatakan masalah utama adalah krisis kepercayaan terhadap pemerintahan Trump.
“Sulit memastikan kesepakatan benar-benar akan dijalankan, mengingat rekam jejak Trump selama ini,” ujarnya.
Posting Komentar