News Breaking
MEDKOM LIVE
wb_sunny

Breaking News

Riset, Kritik Konstruktif, dan Nominasi: Dua Tahun Menulis tentang Jakarta

Riset, Kritik Konstruktif, dan Nominasi: Dua Tahun Menulis tentang Jakarta

"Hallo Kompasianer, selamat Anda terpilih sebagai nomine medkomsubangnetworkAwards 2025"

Demikian penggalan kalimat pembuka dari Pengelola medkomsubangnetwork, ketika saya membaca email tadi malam sekitar pukul 21.31 WIB, beberapa menit jelang tidur.

Ketika membaca email tersebut, perasaan saya biasa saja, tidak seheboh saat pertama kali menerima kabar dari Kompasianer Yana Haudy pada Kamis 13 November lalu, beberapa menit setelah Mimin K mengumumkan para Kompasianer yang masuk nominator melalui artikel di medkomsubangnetwork.

Saat itu, Kak Yana berpesan via WhatsApp: "Coblos diri sendiri jangan lupa. Jangan ga enakan". Saya tertawa kecil membaca komentarnya.

Setelah tiga hari merenung, tadi malam saya memutuskan untuk voting diri sendiri. Ini saya lakukan sebagai bentuk hormat atas jerih lelah saya selama dua tahun menulis di medkomsubangnetwork.

Menulis tentang Jakarta: antara riset dan kritik konstruktif

Sebagaimana yang dideskripsikan oleh Mimin K, saya bergabung dengan medkomsubangnetworktahun 2023. Sejak itu, saya konsisten mengangkat isu-isu yang berhubungan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama yang terpantau di Jakarta.

Melalui opini yang dituangkan, saya turut mengajak masyarakat Jakarta untuk lebih memahami dan menyadari konsep keberlanjutan dalam konteks kota global.

Jika boleh jujur, menulis opini di medkomsubangnetworkitu sulit, karena memerlukan persiapan yang matang, mulai dari pemilihan topik, hingga penyusunan argumen yang kuat dan lugas.

Saya banyak menghabiskan waktu untuk melakukan riset, membaca berbagai sumber, dan memastikan kebenarannya, sebelum ditayangkan di medkomsubangnetwork.

Apalagi, lokus penelitian saya adalah Jakarta, ibu kota negara. Ada perasaan takut, ketika mengkritik kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, yang saya nilai kurang atau belum maksimal dalam penataan kota.

Saya takut kritikan saya tidak berdasar dan dapat dituntut balik. Tapi, perasaan takut itu akhirnya dapat ditepis dengan cara melakukan riset yang bertanggung jawab.

Tulisan-tulisan saya tidak sekadar berisi kritikan, tetapi solusi konkrit atas permasalahan yang ada. Ini yang disebut kritik yang konstruktif. Beberapa tema yang saya angkat selama dua tahun ini, antara lain:

Urbanisasi dan Tata Ruang: Saya membahas bagaimana urbanisasi bisa menjadi peluang atau tantangan bagi Jakarta, tergantung bagaimana tata ruang dikelola. Jakarta dengan 97,9% lahan terbangun memerlukan perencanaan ketat untuk menghindari degradasi lingkungan.Lingkungan dan Keberlanjutan: Dari isu TBC yang merajalela hingga mikroplastik dalam air hujan, saya menyoroti bahwa kota global sejati harus mampu melindungi kesehatan warganya yang paling rentan, bukan hanya membangun gedung pencakar langit.Ruang Publik dan Heritage: Saya mengangkat kondisi Danau Sunter Barat yang berpotensi jadi destinasi wisata namun tidak terawat, Stasiun Pasar Senen yang berubah jadi pasar dadakan meski berstatus cagar budaya, hingga urgensi penataan pesisir utara sebagai "teras" Jakarta.Inovasi Kota Global: Dari upaya Jakarta menjadi Kota Sinema UNESCO hingga peningkatan peringkat Global Cities Index, saya menganalisis langkah-langkah Jakarta mengejar ambisi menjadi kota global dengan pendekatan budaya dan inovasi. Di balik nomine: pengorbanan dan komitmen

Karena opini ditulis secara ketat, dalam kesibukan kuliah dan mengajar, saya kerap mengambil waktu di sela-sela kesibukan, kebanyakan pada malam hari jelang tidur.

Tak heran, istri saya sering mengomel. Dia marah karena saya tidak menjaga kesehatan. Maafkan saya yang sering lembur. Hehe.

Begitulah, kalau menulis sudah menjadi panggilan jiwa. Kalau tidak menulis, maka ada yang kurang. Beberapa bulan lalu, ketika saya sakit dan harus rawat inap di RS Agung, saya menyempatkan waktu menulis dengan tangan yang sedang diinfus.

Tulisan-tulisan saya di medkomsubangnetwork, tidak sekadar menyajikan data dalam bentuk tertulis, tetapi juga berupa data lapangan.

Banyak tempat di Jakarta yang sudah saya kunjungi untuk melihat langsung situasi di lapangan, seperti yang terbaru, saya melakukan kunjungan singkat ke Stasiun Pasar Senen, melihat kondisi cagar budaya yang berubah jadi pasar dadakan.

Tahun lalu, saya banyak mengunjungi pantai dan pelabuhan di utara Jakarta, mulai dari Pantai Indah Kapuk, Cilincing, hingga kepulauan seribu.

Dari kunjungan tersebut, saya banyak mendapatkan informasi yang media massa belum tahu, seperti kondisi teluk Jakarta yang dipenuhi sampah, perjuangan nelayan mencari ikan berbulan-bulan, banjir rob, dan urgensi penataan pesisir utara sebagai fondasi Jakarta menuju kota global.

Jadi, di balik saya masuk nominasi selama dua tahun berturut, ada banyak hal yang saya korbankan: waktu, tenaga, dan dana.

Setiap artikel yang saya tuliskan, adalah hasil dari observasi langsung, riset mendalam, dan kegelisahan terhadap kondisi Jakarta yang ingin menjadi kota global, namun masih terjebak pada masalah-masalah mendasar.

Apresiasi dari diri sendiri dan komunitas

Saya kembali merenungkan komentar Kak Yana, dia benar. Terkadang, kita perlu juga mengapresiasi diri sendiri atas apa yang sudah kita lakukan.

Melakukan voting atas diri sendiri, bagi saya, adalah sah. Ini bukan tentang merebut panggung Kompasianival, ini tentang menghargai usaha sendiri.

Saya kira, beberapa Kompasianer yang masuk nominasi, juga melakukan hal yang sama, hanya mereka enggan mengakuinya. Mengapresiasi diri sendiri itu penting, terutama ketika kita tahu berapa banyak pengorbanan yang telah dilakukan.

Dalam periode voting yang dimulai dari tanggal 14-19 November, beberapa Kompasianer WA dan DM ke saya, menyatakan dukungan dan mendoakan saya.

Saya masih ingat, ketika Mimin K membuka kesempatan mengajukan nominasi, Ketua Kopaja71, Bang Horas, menyatakan dukungannya. Dan, pagi ini, dia kembali menyatakan dukungannya.

Ia mempromosikan saya, Kompasianer Ire Rosana Ullail, Jandris Sky, dan Ria Agustina, di medsos komunitas dan akun pribadinya. Begitu pula dengan beberapa teman di KOKOBER (Komunitas Kompasianer Berbagi).

Saya belajar satu hal: Ternyata, apresiasi itu bukan datang dari diri sendiri, tetapi juga dari orang lain. Tentu saja, karena mereka menilai tulisan saya layak.

Terkait kelayakan sebuah tulisan, lebih objektif memang ketika dinilai oleh orang lain, bukan diri sendiri. Kalau saya yang menilai tulisan saya, maka hal ini subjektif. Berbeda kalau yang menilainya adalah orang lain, tentu lebih objektif.

Penutup: yukk voting sekarang!

Pada kesempatan ini, saya mengajak teman-teman Kompasianer untuk melakukan voting pada mereka yang memang layak mendapat penghargaan medkomsubangnetworkAwards 2025 di panggung Kompasianival.

Kompasianival 2025 sudah di depan mata, periode voting pun sudah hampir ditutup. Mari gunakan hak suara kalian untuk voting nama-nama pada kategori yang ada.

Pada Kompasianival tahun ini, ada lima kategori yang disajikan: Best in Storytelling, Best in Opinion, Best in Passion, Best in Fiction, dan Pelestari.

Kalau tulisan-tulisan saya tentang Jakarta: dari urbanisasi, TBC, mikroplastik, penataan ruang publik, hingga ambisi kota global, dianggap layak, dukung saya pada kategori Best in Opinion, ya. Sekali lagi, terima kasih banyak untuk dukungan tulusnya.

Mari kita rayakan Kompasianival 2025 dengan sukacita, sambil menghormati siapa pun pemenangnya sebagai yang terbaik dan paling layak.

By the way, selamat untuk Kompasianer terpilih.

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar