News Breaking
MEDKOM LIVE
wb_sunny

Breaking News

Sumatra: Data Deforestasi dan Konflik Agraria Pasca-Bencana

Sumatra: Data Deforestasi dan Konflik Agraria Pasca-Bencana

Sumatra, sebuah pulau yang secara historis dikenal sebagai salah satu produsen utama kayu gelondongan di Indonesia, kini menghadapi kenyataan pahit. Data selama dua dekade terakhir menunjukkan peran penting hutan Sumatra dalam kontribusi kayu nasional, sejajar dengan pulau-pulau lain seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Namun, bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda baru-baru ini, dipicu oleh cuaca ekstrem, secara tragis menggambarkan kerusakan hutan yang terjadi di wilayah ini.

Meskipun cuaca ekstrem juga melanda negara lain seperti Thailand dan Vietnam, skala bencana di Sumatra terasa melampaui perkiraan umum. Tiga provinsi di Sumatra—Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat—menjadi saksi bisu kehancuran, dengan ratusan nyawa melayang dan ribuan warga mengungsi akibat terisolasi tanpa bantuan yang memadai. Arus bandang berwarna cokelat pekat yang menghanyutkan berton-ton kayu gelondongan memicu pertanyaan mendesak publik: mengapa deforestasi terus berlanjut? Isu penggundulan hutan, penebangan kayu masif, dan alih fungsi lahan menjadi sorotan utama.

Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Kehutanan, pada awalnya membantah adanya aktivitas penebangan kayu ilegal. Namun, belakangan, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Dwi Januanto, mengklarifikasi bahwa penjelasan sebelumnya tidak bermaksud menafikan kemungkinan praktik ilegal di balik kayu-kayu yang terbawa banjir. Di sisi lain, data dari berbagai lembaga justru memperkuat dugaan eksploitasi lahan dan hutan Sumatra yang terus berlangsung, disertai konflik yang tak kunjung padam antara korporasi, negara, dan masyarakat.

Jejak Produksi Kayu Sumatra: Dari Kejayaan Hingga Penurunan

Sumatra memiliki sejarah panjang sebagai produsen kayu. Lebih dari dua dekade lalu, pulau ini menduduki peringkat kedua sebagai kontributor terbesar produksi kayu nasional. Namun, seiring waktu, kayu-kayu dari hutan Sumatra semakin langka diburu, dan posisinya mulai digantikan oleh wilayah lain seperti Maluku, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.

Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai Perusahaan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) pada tahun 2006, Sumatra masih menjadi pulau dengan jumlah perusahaan HPH terbanyak kedua setelah Kalimantan, dengan 48 HPH yang mencakup total konsesi seluas 2,4 juta hektar. Dalam hal luas konsesi, Sumatra menempati peringkat ketiga setelah Kalimantan (12,8 juta hektar) dan Papua (9,9 juta hektar).

Pada tahun 2006, total produksi kayu bulat dari HPH tercatat sebesar 7,9 juta meter kubik, di mana Sumatra menyumbang sekitar 1,4 juta meter kubik. Jenis kayu rimba campuran, Meranti, Kruing, dan Ramin mendominasi produksi kayu bulat asal Sumatra. Khusus untuk kayu Meranti, Sumatra berada di peringkat ketiga pulau penghasil kayu terbesar, di bawah Papua dan Kalimantan.

Namun, tren produksi ini mengalami penurunan drastis dalam dua dekade terakhir. Data BPS terbaru menunjukkan bahwa produksi kayu bulat nasional kini hanya sekitar 4,25 juta meter kubik. Jumlah pemegang HPH pun menyusut, dengan total nasional saat ini sekitar 178 perusahaan, di mana hanya 11 di antaranya beroperasi di Sumatra. Produksi kayu hutan Sumatra semakin surut, hanya menyisakan 593 ribu meter kubik, dengan Akasia sebagai kontributor terbesar, sementara Meranti semakin langka diproduksi. Posisi Sumatra kini digeser oleh Maluku, Nusa Tenggara, dan Sulawesi, wilayah yang secara kebetulan juga sedang dipacu proyek tambang dan perkebunan.

Data ini memunculkan dua kemungkinan utama: apakah semakin menipisnya pepohonan hutan akibat eksploitasi jangka panjang di masa lalu, atau memang telah terjadi penghentian penebangan pohon secara signifikan.

Deforestasi Masif: Ancaman Nyata bagi Indonesia dan Sumatra

Terlepas dari penurunan produksi kayu legal, Indonesia secara umum masih menghadapi masalah deforestasi yang masif. Negara ini bahkan masuk dalam peringkat teratas kasus deforestasi terbanyak, dengan perkiraan mencapai 10 juta hektar per tahun pada tahun 2024.

Khusus untuk Sumatra, penggundulan hutan menyumbang hampir separuh dari deforestasi netto nasional. Ini berarti, jika dibandingkan antara reboisasi dan penggundulan, Sumatra mengalami defisit sekitar 78.030,6 hektar, yang merupakan separuh dari total defisit nasional sebesar 175.437,7 hektar. Provinsi Riau mencatat deforestasi netto terbesar, diikuti oleh tiga provinsi yang baru saja dilanda bencana banjir dan longsor: Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.

Masyarakat Menjaga, Bukan Menjagalkan: Konflik Agraria dan Peran Korporasi

Laporan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkap bahwa deforestasi sering kali dipicu oleh ulah korporasi yang didukung oleh kebijakan pemerintah, termasuk dalam bisnis perkebunan, pertambangan, dan kehutanan. Di Sumatra, aktivitas ini telah memicu konflik agraria yang signifikan. Daerah-daerah yang kini menjadi korban bencana alam, seperti Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, juga merupakan wilayah konflik agraria yang intens.

Dalam catatan akhir tahunnya, KPA Agraria mencatat peningkatan konflik agraria sebesar 21% pada tahun sebelumnya, yang dipicu oleh penguasaan lahan dan hutan oleh korporasi dan proyek pemerintah. Sektor pertambangan, perkebunan sawit, dan kehutanan menjadi sumber utama konflik ini. Konflik ini tersebar di hampir semua provinsi, namun Sumatra menjadi titik panas konflik tertinggi kedua pada tahun lalu, dengan Sumatra Utara dan Sumatra Barat mengalami letupan konflik terbanyak.

Salah satu konflik terbesar di Sumatra Utara yang masih berlanjut adalah penguasaan lahan dan hutan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) di daerah Tapanuli. Di Sumatra Barat, konflik terbesar terjadi antara warga dan korporat sawit yang diduga terafiliasi dengan Wilmar Group. Konflik agraria juga kerap meletup di Jambi, yang memiliki kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat.

Mengingat tingginya catatan konflik ini, penegakan hukum yang tegas dan menyeluruh menjadi sangat penting. Masyarakat, sejak awal, menyadari bahaya kerusakan alam sebagai sumber dan benteng dari bencana lingkungan. Pertanyaannya kini adalah, siapa yang sebenarnya perlu diajari mengenai pentingnya menjaga kelestarian alam?

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama

Posting Komentar