Data Pengemudi Jadi Rebutan, Apple CarPlay dan Android Auto Terancam Tersisih

- Apple CarPlay and Android Auto dulu dianggap fitur wajib dalam mobil baru. Banyak pembeli menolak mobil yang tidak mendukungnya. Wajar saja, karena sistem itu membuat layar mobil berubah jadi perpanjangan ponsel.
Namun kini pabrikan besar mulai menarik diri. General Motors memilih jalannya sendiri. Tesla dan Rivian sejak awal bahkan tak pernah melirik CarPlay maupun Auto. Ada apa sebenarnya?
Pertarungan di Balik Layar
CarPlay dan Auto bekerja dengan cara sederhana. Pengemudi cukup hubungkan ponsel ke mobil lewat kabel USB atau Bluetooth. Layar mobil langsung berubah jadi ponsel raksasa. Aplikasi navigasi, musik, hingga pesan bisa muncul dengan antarmuka yang familiar.
Lebih dari 60 persen pengemudi di Amerika memakai iPhone, sementara sisanya Android. Itu sebabnya fitur ini begitu menentukan dalam keputusan membeli mobil. Rasanya aneh jika mobil mahal tak mendukungnya.
Tapi ada sistem lain: Android Automotive. Namanya mirip, tapi beda jauh. Ia ditanam langsung di mobil sejak pabrik. Tidak perlu ponsel. Mobil sendiri yang terkoneksi internet, lengkap dengan Maps, musik, pesan, dan layanan Google lainnya.
Rebutan Data: Siapa Menguasai?
Saat memakai CarPlay atau Auto, data pengemudi mengalir deras ke Apple atau Google. Kecepatan, lokasi, musik yang diputar, bahkan di mana berhenti isi bensin. Semua terekam. Satu orang tak berarti apa-apa. Tapi jutaan orang? Itu emas.
Pabrikan mobil mulai sadar. Mengapa data berharga itu lari ke Silicon Valley, bukan ke garasi riset mereka? Dengan Android Automotive, kendali data ada di tangan pabrikan. Mereka bisa mengolahnya untuk meningkatkan fitur kendaraan, misalnya rute pintar untuk mobil listrik agar sesuai daya baterai.
Ancaman lebih nyata lagi muncul dengan Apple CarPlay versi terbaru, yang konon bisa menempel lebih dalam ke sistem mobil. Inilah titik di mana pabrikan merasa harus melawan.
GM, Tesla, Rivian dan Strategi Baru
GM meluncurkan sistem infotainment sendiri yang terintegrasi dengan Super Cruise, fitur mengemudi tanpa tangan. Peta Google dimanfaatkan untuk menampilkan jalur yang bisa ditempuh tanpa sentuhan setir. Teknologi ini jelas hanya bisa berjalan mulus jika datanya dikontrol penuh oleh GM.
Tesla sudah lama percaya diri dengan sistem bawaan mereka. Rivian juga demikian. Mereka membangun pengalaman berkendara tanpa perlu CarPlay maupun Auto. Mereka ingin hubungan langsung antara pengemudi dan mobil, tanpa perantara Apple atau Google.
Tapi jangan kira pabrikan mobil lebih “suci”. Mereka pun mengincar keuntungan dari data. Hanya bedanya, mereka mengklaim tujuannya untuk meningkatkan pengalaman berkendara.
Data, Uang, dan Layanan Berlangganan
Data tak pernah dibuang. Biasanya identitas pribadi dihapus, lalu data dijual dalam paket besar. Itu dianggap wajar. Masalah muncul jika data spesifik dijual ke pihak ketiga. General Motors pernah melakukan ini lewat aplikasi OnStar Smart Driver. Tujuannya memberi umpan balik agar pengemudi lebih baik.
Belakangan terungkap data itu dijual ke perusahaan asuransi. Akibatnya, premi bisa naik jika gaya mengemudi dianggap terlalu agresif. Aplikasi itu kini dihentikan, tapi jejaknya terlanjur meninggalkan rasa tidak percaya.
Ada lagi model bisnis baru: langganan. BMW pernah bikin heboh dengan kursi hangat berbayar. Padahal fitur itu sudah ada di mobil. Pembeli harus membayar biaya bulanan untuk mengaktifkannya. Kini muncul kekhawatiran CarPlay dan Auto pun akan berubah jadi layanan berbayar.
Navigasi, hiburan, bahkan koneksi internet—semua bisa disulap jadi langganan. Skenarionya jelas: pabrikan ingin peras setiap Rupiah dari pengemudi.
Akhirnya...
Big tech maupun pabrikan sama saja: mencari keuntungan dari data pengemudi. Bedanya hanya soal siapa yang lebih dulu meraupnya. Pengemudi mungkin hanya ingin peta lancar, musik mengalun, dan perjalanan nyaman. Tapi di balik layar, data perjalanan itu sedang jadi rebutan paling panas.***
Posting Komentar