News Breaking
MEDKOM LIVE
wb_sunny

Breaking News

Gaji Gubernur Jabar Dedi Mulyadi Tak Tersentuh Efisiensi Anggaran, Ini Faktanya

Gaji Gubernur Jabar Dedi Mulyadi Tak Tersentuh Efisiensi Anggaran, Ini Faktanya

Gaji Gubernur Jabar Dedi Mulyadi Tak Tersentuh Efisiensi Anggaran, Ini Faktanya KORAN-PIKIRAN RAKYAT – Gaji dan tunjangan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan Wakil Gubernur Jawa Barat Erwan Setiawan ternyata tidak terkena dampak dari efisiensi anggaran yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat saat ini. Hal itu terbukti sejak APBD Jawa Barat tahun anggaran 2025 ditetapkan pada 8 November 2024 sebelum terbit Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran sampai ­perubahan kelima APBD Jawa Barat tahun 2025 tanggal 16 April 2025, gaji dan tunjangan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak berubah sama sekali.

Dari penelusuran yang dilakukan “PR”, Rabu 10 September 2025, tentang gaji dan tunjangan Gubernur dan Wakil Gubernur di dokumen Peraturan Gubernur Nomor 8 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2024 tentang Penjabaran APBD Tahun Anggaran 2025, ternyata tidak berubah sama sekali setelah dilakukan perubahan kelima APBD tahun 2025 sebagaimana Per­atur­an Gubernur Nomor 14 tahun 2025 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2024 tentang Penjabaran APBD Tahun Ang­garan 2025.

Misalnya, gaji dan tunjangan Gubernur dan Wakil Gubernur sebesar Rp 2.215.627.310 sama sekali tidak berubah sejak APBD 2025 ditetapkan sampai per­ubah­an kelima APBD 2025. Begitu pula dengan belanja dana operasional gubernur dan wakil gubernur sebesar Rp 28,8 miliar, juga tidak mengalami perubahan sama sekali.

Dengan tidak adanya perubah­an gaji dan tunjangan gubernur dan wakil gubernur tersebut, menjadi bukti bahwa efisiensi anggaran yang digembar-gemborkan selama ini ternyata tidak menyentuh atas gaji dan tun­jang­an Gubernur Dedi Mulyadi dan Wakil Gubernur Erwan Setiawan.

Malahan, Sekretaris Daerah (Sekda) Jawa Barat Herman Suryatman, Rabu 10 September 2025, meluruskan penggunaan dana operasional gubernur dan wakil gubernur sebesar Rp 28,8 miliar dari APBD Jawa Barat Tahun 2025.

Menurut dia, dana operasional gubernur dan wakil gubernur tersebut adalah dana operasional yang kembali lagi kepada ma­syarakat. “Dana operasional Rp 28,8 miliar tersebut sifatnya ke­lembagaan bukan personal. Dana itu kembali ke publik semuanya,” ucap Herman di Gedung DPRD Jawa Barat.

Dikatakan Herman yang memiliki otoritas penggunaan dana operasional yaitu gubernur dan wakil gubernur ketika ke lapangan. Misalnya di lapangan ada rumah yang ro­boh, saat itu gubernur atau wa­kil gubernur harus memberikan santunan.

"Kan tidak mungkin bantuan tersebut dimusrenbang-kan dulu dan seterusnya. Ma­k­anya dalam Peraturan Pemerintah tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah itu ada aturan bahwa untuk biaya ope­rasional kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah 0,15% dari PAD. Ya alhamdu­lillah PAD Jawa Ba­rat termasuk PAD yang ter­ting­gi,"ucap Herman Suryatman.

Beri contoh

Pengamat kebijakan publik Nandang Suherman mempertanyakan kenapa tidak ada efi­siensi anggaran terhadap gaji dan tunjangan yang melekat kepada gubernur dan wakil gubernur. “Selama ini, Gubernur Dedi Mulyadi selalu bicara efisiensi anggaran. Namun, kenapa terkait gaji dan tunjangan buat gubernur dan wakilnya tidak tersentuh efisiensi anggaran?. Kenapa tidak ada keberanian melakukan efisiensi anggaran?,” kata Nandang Suherman.

Semestinya, papar Nandang Suherman, karena selama ini Gubernur Dedi Mulyadi selalu bicara efisiensi ang­garan, akan lebih baik dan memberikan contoh jika anggaran terkait gaji dan tun­jang­an gubernur dan wakil gubernur juga dilakukan efisiensi anggaran. “Kalau gaji dan tunjangan gubernur dan wakilnya juga terkena efisiensi anggaran, itu memberikan contoh nyata kepada publik atas langkah efisiensi anggaran yang dilakukan,” ucap Nandang Suherman.

DPRD Jabar

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Jabar Ono Surono me­ngatakan, terkait evaluasi tun­jangan DPRD Jawa Barat, pihaknya sudah siap menja­lankan hal itu berdasarkan tuntutan dari berbagai ma­cam aspek. Baik aspek hukum perundang-undangan, aspek sosial, aspek krisis yang saat ini dialami. “Tapi DPRD ini tidak bisa menentukan sen­diri. Pihaknya termasuk ba­gi­an dari pemerintahan daerah yang hak protokoler dan kedudukan keuangannya ditetapkan melalui peraturan gubernur,” ujarnya.

Kata Ono Surono, peratur­an gubernur itu juga dasar­nya adalah peraturan pemerintah terkait dengan hal yang sama. Lalu, bicara misalnya kelayakan kepatuhan soal tun­jangan perumahan ada beberapa hal yang menjadi panduan. Misalnya, untuk menentukan kepatuhan kelayakan itu ada lembaga ofisial, terus juga ada peraturan yang di pemerintah yang mengatur tentang harga satuan.

"Jadi kita mempunyai dasar sehingga ya tentunya ini tidak bisa disikapi sepihak. Sehingga pimpinan DPRD menyatakan DPRD di Jawa Barat siap dievaluasi. Siap kita menurunkan gaji dan tunjangan. Tapi, ya tadi, harus komprehensif," kata Ono Surono.

Diakui Ono, pihaknya sudah menyampaikan semua pejabat negara dari tingkat pusat sampai tingkat daerah itu ada payung hukumnya untuk menentukan besaran gaji dan tunjangannya. Dia berharap, saat ini, momentum yang sangat baik untuk evaluasi, bukan hanya bicara Jawa Barat, tapi bicara seluruh Indonesia. Bukan hanya terkait dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah, tapi juga harus menyeluruh.

"Pemerintah pusat juga melakukan evaluasi, pemerintah provinsi, kabupaten, kota juga melakukan evaluasi. Karena saya yakin kondisi ma­syarakat saat ini juga se­dang tidak baik-baik saja,” kata Ono Surono.

Kota Bandung

Wakil Ketua DPRD Kota Bandung Edwin Sanjaya me­nekankan bahwa mayoritas penghasilan yang diperoleh anggota dewan ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Dia mengakui, gaji dan tunjangan yang diperoleh mencapai sekitar Rp 90 juta per bulan, tetapi itu penghasilan kotor.

"Kami itu rata-rata menerima take home pay sekitar Rp 40 juta, dari Rp 90 jutaan itu. Perlu saya jelaskan, mudah-mudahan masyarakat bisa memahami, kebanyakan dari apa yang kami dapatkan ini, yang Rp 40 jutaan ini, itu juga kembali kepada masyarakat," katanya, Rabu 10 September 2025.

Edwin menuturkan, penghasilan kotor yang mencapai sekitar Rp 90 juta per bulan itu salah satunya berasal dari tunjangan perumahan. Akan tetapi, gaji dan tunjangan tersebut belum dipotong pajak dan potongan lainnya, yang bisa mencapai lebih dari Rp 40 juta.

"Ini kan ada payung hukumnya. Jadi apa yang kami terima itu memang sudah diatur dalam peraturan. Yang pertama, tentu disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah, dan yang kedua juga untuk memenuhi asas kepatutan dan kewajaran," kata Ketua DPD Golkar Kota Bandung ini.

Menurut dia, penghasilan bersih sekitar Rp 40 juta per bulan yang diterima anggota legislatif itu pun mayoritas tidak dipakai buat kepentingan pribadi. Pasalnya, sebagai wakil rakyat, anggota DPRD selalu bersentuhan langsung dengan masyarakat, termasuk berbagai permasalahannya.

"Bahwa setiap bulan, setiap hari, kami menerima banyak sekali permohonan bantuan dari warga, terutama yang jadi konstituen. Aspirasi yang disampaikan ini harus kami penuhi dan itu tidak ada anggarannya selain dari kantong pribadi anggota DPRD itu sendiri," tuturnya.

Dia menambahkan, ang­gota dewan bahkan kerap menombok kebutuhan biaya untuk mengadakan kegiatan reses, meski ada uang tunjangannya. Mengingat, warga yang mengikuti reses kerap membeludak dan perlu diberi uang transportasi.

DPRD Cimahi

DPRD Kota Cimahi juga menerima berbagai tunjangan. Misalnya, tunjangan perumahan untuk Ketua DPRD sebesar Rp 47 juta perbulan, Wakil Ketua sebesar Rp 42 juta per bulan dan anggota DPRD sebesar Rp 40 juta per bulan.

Kemudian, tunjangan transportasi Ketua DPRD Rp 20 juta, Wakil Ketua DPRD Rp 18,5 juta dan anggota DPRD Rp 17,5 juta. Ketua DPRD juga mendapat dana operasional Rp 4 juta, dan Wakil Ketua DPRD Rp 4,2 juta per bulan.

Untuk seluruh anggota DPRD Kota Cimahi, menda­pat tunjangan komunikasi intensif sebesar Rp 10,5 juta per bulan dan tunjangan reses Rp 10,5 juta tiap kegiatan berlangsung.

Ketua DPRD Kota Cimahi Wahyu Widyatmoko menya­takan, pemberian tunjangan untuk anggota DPRD Kota Cimahi mengacu ketentuan yang berlaku. "Terkait dengan tunjangan perumahan, transportasi dan lainnya diatur da­lam PP 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan Administrasi Pimpinan dan Anggota DPRD. Untuk di Kota Cimahi, acuannya perwal yang terakhir tahun 2023," ujarnya, Rabu 10 September 2025.

Dia mengatakan, tunjangan perumahan diberikan karena tidak tersedia rumah dinas bagi DPRD Kota Cimahi. "Sejak Kota Cimahi berdiri be­lum ada rumah dinas untuk dewan. Di dalam PP disebut­kan, ketika Pemkot Cimahi tidak bisa memberikan ru­mah dinas, maka hak keuang­an pimpinan anggota DPRD mendapatkan tunjangan perumahan, termasuk transportasi. Pemberian tunjangan sudah melekat dalam aturan, tidak melihat apakah anggota dewan punya rumah atau tidak, punya mobil atau tidak. Seperti, halnya presiden, men­teri gubernur, sampai wali kota punya hak yang diatur," katanya.

Menurut dia, berbagai tunjangan uang diberikan me­nye­suaikan kemampuan ke­uangan daerah. "Tunjangan komunikasi, reses dan lainnya diatur sesuai kemampuan keuangan daerah, ada rumusnya sehingga menghasilkan angka segitu. Untuk Kota Cimahi masuk kategori kemampuan keuangan yang sedang," kata Wahyu. (Hendro Husodo, Novianti Nurulliah, Ririn NF)***

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar