News Breaking
MEDKOM LIVE
wb_sunny

Breaking News

OPINI: Akhiri Dilema Rangkap Jabatan

OPINI: Akhiri Dilema Rangkap Jabatan

, JAKARTA - Lima dekade setelah Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974, Jakarta kembali bergejolak. Pola yang terlihat tetap sama, keresahan akan ketidakadilan mencari saluran.

Di balik kerumunan mahasiswa yang turun ke jalan waktu itu, mengemuka keresahan tentang kesenjangan, arah pembangunan, dan keterhubungan antara kekuasaan dengan kepentingan ekonomi. Hari-hari belakangan ini, Jakarta kembali menjadi saksi gejolak di jalanan. Tentu situasi sekarang berbeda jauh dengan setengah abad lalu.

Namun, ada pola yang bisa dikenali, dimana protes massal sering berangkat dari perasaan publik bahwa ada jarak antara nilai keadilan yang diharapkan dengan kenyataan tata kelola yang dirasakan. Bentuk tuntutan mungkin beragam, tetapi intinya tetap sama, yaitu pencarian legitimasi atas cara negara dijalankan.

Di tengah situasi ini, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 Agustus 2025 mengeluarkan Putusan No. 128/PUU-XXIII/2025 (128/2025). Putusan ini mengakhiri kemelut soal rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris di badan usaha milik negara. Substansinya menegaskan pentingnya pemisahan peran agar fungsi pengawasan di BUMN tidak terdistorsi oleh kepentingan politik.

Putusan ini memperkuat prinsip independensi dan kejelasan fungsi pengawasan Dewan Komisaris yang menjadi roh dari UU BUMN serta berbagai peraturan turunannya, yang dilanggar oleh praktik rangkap jabatan ini.

Dualitas peran berpotensi menciptakan konflik kepentingan yang inheren. Seorang pengawas mustahil dapat objektif mengevaluasi kinerja BUMN yang justru menjadi alat untuk memenuhi janji politik. Lebih parah lagi jika jabatan itu berasal dari kementerian yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan BUMN bersangkutan. Selain konflik kepentingan, timbul pula risiko inkompetensi karena kurangnya latar belakang dan pemahaman operasional. Akibatnya, fungsi pengawasan dan pemberian nasihat strategis yang seharusnya menjadi inti peran komisaris menjadi lumpuh.

Maka, Putusan MK ini, jika dilaksanakan sungguh-sungguh, bisa menjadi sinyal kuat bahwa negara menempatkan prinsip tata kelola di atas kompromi jangka pendek. Putusan 128/2025 harus dipahami sebagai pintu masuk, bukan tujuan akhir. Masalah mendasar yang diusung oleh para penggugat, dan yang berulang kali tersirat dalam gejolak sosial, adalah pertanyaan tentang untuk siapa BUMN itu dikelola.

BUMN tidak sepatutnya dijadikan instrumen politik atau arena bagi pemburu rente, melainkan harus berorientasi pada efisiensi nasional dan kesejahteraan rakyat. Untuk itu, implementasi Putusan 128/2025 harus diikuti dengan penguatan tata kelola yang lebih menyeluruh. Prinsip check and balance tidak berhenti pada soal rangkap jabatan, tapi mencakup transparansi, akuntabili-tas, dan profesionalisme.

Oleh karena itu, implementasi putusan ini tidak boleh sekadar memindahkan kursi. Pemerintah ditantang untuk melakukan reformasi tata kelola BUMN yang lebih menyeluruh tentang memper-kuat Dewan Komisaris dan Direksi dengan profesional yang dipilih secara meri-tokratis, serta memastikan transparansi dalam proses rekrutmen.

Dengan begitu, publik dapat melihat bahwa aset negara dikelola oleh orang-orang terbaik.

Dalam iklim ketidakpercayaan yang kerap memicu unjuk rasa, kepatuhan terhadap putusan MK yang tegas ini dapat menjadi modal penting untuk membangun kembali kepercayaan publik. Tindakan nyata menaati putusan akan berbicara lebih keras dibanding seribu pernyataan, sebab ia menunjukkan bahwa pemerintah sungguh mendengarkan, tunduk pada hukum, dan berkomit-men memperbaiki institusi. Pelajaran dari Malari dan berbagai episode protes lain-nya adalah ketidakpuasan publik bersifat kumulatif.

Ia tidak selalu meledak karena satu kebijakan, tetapi karena persepsi akan sistem yang dianggap tidak adil. Jadi, pemerintah tidak boleh menunggu protes jalanan untuk bergerak. Pemerintah yang responsif harus mampu membaca sinyal sebelum keresahan itu meluas.

Reformasi tata kelola BUMN menjadi semakin krusial dalam menghadapi tantangan masa depan. Kepatuhan terhadap Putusan 128/2025 adalah ujian nyata bagi komitmen pemerintah terhadap prinsip good governance.

Ia adalah langkah konkret yang dapat memutus pola sejarah di mana ketidakpuasan publik terakumulasi hingga meledak di jalanan. Dengan menjadikannya momentum reformasi yang lebih luas, pemerintah tidak hanya menyelesaikan soal hukum, tetapi juga berinvestasi pada stabilitas dan legitimasi jangka panjang.

Pada akhirnya, stabilitas sejati lahir dari tata kelola yang adil dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kepatuhan pemerintah terhadap putusan MK menjadi isyarat bahwa hukum berdiri di atas segala kepentingan, termasuk kekuasaan. Dari sana, publik akan menanglkap pesan bahwa negara tidak sekadar menuntut ketaatan rakyat, tetapi juga menundukkan diri pada aturan yang sama.

Itulah fondasi kepercayaan yang sesungguhnya, karena keadilan yang ditegakkan secara konsisten lebih menenteramkan. Akhirnya, sejarah Malari dan semua gejolak setelahnya mengajarkan satu hal, stabilitas yang dibangun di atas fondasi ketidakadilan adalah ilusi. Putusan MK ini adalah kesempatan untuk membangun fondasi yang kokoh. 

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar