Soroti Kenaikan Tunjangan DPRD NTT, Akademisi: Negara Menganaktirikan Profesi Pendidik Demi Elite Politik?

Akademisi Sekolah Tinggi Pastoral (STIPAR) Atma Reksa Ende menyoroti kebijakan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 22 Tahun 2025 yang secara resmi menaikkan tunjangan pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT. Pergub ini ditandatangani oleh Gubernur Emanuel Melkiades Laka Lena pada 16 Mei 2025, menggantikan Pergub Nomor 72 Tahun 2024 yang sebelumnya ditetapkan oleh Penjabat Gubernur Andriko Noto Susanto. Kenaikan ini tidak main-main, sebab anggaran untuk tunjangan perumahan dan transportasi melonjak hingga total Rp24,6 miliar per tahun.
Kepada , Minggu 7 September 2025 via WhatsApp, Staf Pengajar STIPAR Atma Reksa Ende Anselmus DW. Atasoge menyebut, kebijakan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini telah memicu respons publik yang luas, terutama dari kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil. Kenaikan ini dinilai signifikan, dengan tunjangan perumahan anggota DPRD melonjak dari Rp12,5 juta menjadi Rp23,6 juta per bulan, dan tunjangan transportasi mencapai hingga Rp31,8 juta per bulan bagi Ketua DPRD.
Secara kebijakan, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menyesuaikan tunjangan berdasarkan beban kerja dan tanggung jawab jabatan.
"Namun, pertanyaan kritis yang muncul adalah: apakah penyesuaian ini dilakukan dengan prinsip keadilan sosial dan proporsionalitas antarprofesi?," tanya akademisi asal Flores Timur ini.
Lebih lanjut dikatakannya, jika dibandingkan dengan profesi guru dan dosen, yang juga merupakan aparatur negara dan memiliki peran strategis dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM), maka ketimpangan ini menjadi sorotan serius. Guru dan dosen, terutama di daerah seperti NTT, masih menghadapi tantangan kesejahteraan yang nyata seperti gaji pokok yang rendah, minimnya tunjangan perumahan, dan beban kerja yang tinggi. Dalam banyak kasus, mereka bahkan harus merogoh kocek sendiri untuk mendukung proses pembelajaran dan pengabdian masyarakat.
Anselmus bilang kebijakan yang menaikkan tunjangan legislatif secara drastis, tanpa diiringi peningkatan signifikan terhadap kesejahteraan tenaga pendidik, dapat menciptakan kesan diskriminatif dan mengabaikan prinsip keadilan distributif. Alokasi anggaran seharusnya mencerminkan prioritas pembangunan jangka panjang, di mana pendidikan menjadi fondasi utama.
Oleh karena itu, kata dia, kebijakan ini patut dikaji ulang secara transparan dan partisipatif. Pemerintah daerah perlu membuka ruang dialog dengan pemangku kepentingan pendidikan, termasuk guru, dosen, dan organisasi masyarakat sipil untuk memastikan bahwa kebijakan anggaran tidak hanya mengakomodasi elite politik, tetapi juga menjawab kebutuhan mendasar para pendidik yang membentuk masa depan NTT. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa negara belum sepenuhnya menempatkan pendidikan sebagai prioritas substantif dalam pembangunan, dan jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan guru dan dosen, maka wajar jika publik mempertanyakan apakah negara secara sistemik menganaktirikan profesi pendidik demi mengakomodasi elite politik.
"Perlakuan semacam ini tidak hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga melemahkan fondasi peradaban yang seharusnya dibangun melalui pendidikan yang bermartabat," paparnya.
Anselmus menambahkan fungsi utama DPR sebagai representasi politik rakyat semestinya dijalankan dengan keberpihakan nyata terhadap kepentingan masyarakat, bukan sekadar formalitas demokrasi lima tahunan. Jika DPR lebih sibuk mengamankan privilese politik daripada mengawal aspirasi rakyat, maka fungsi representatifnya kehilangan makna substantif dan justru mencederai kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri.
Menurut Anselmus tunjangan fantastis yang diberikan kepada pejabat publik, khususnya anggota legislatif, memang berpotensi menjadi pintu masuk bagi budaya hedonisme dalam politik yakni gaya hidup yang memuja kenyamanan dan kenikmatan materi. Fenomena ini dinilai berpotensi menciptakan jurang antara elite dan rakyat, serta mengaburkan esensi representasi politik yang seharusnya mengabdi pada bonum commune/kebaikan bersama.
Kendati demikian, secara spesifik Anselmus mengakui adanya kontribusi anggota DPRD Flores Timur. Meski begitu, tantangan ke depan adalah memastikan bahwa setiap langkah legislatif benar-benar berakar pada aspirasi rakyat.
"Dan, berorientasi pada kebaikan bersama yang inklusif dan berkeadilan," pungkasnya.***
Posting Komentar