Dari Sunyi ke Cahaya: Kisah 3 Siswa Bandung Menenun Mimpi

BANDUNG, — Udara pagi di kawasan selatan Bandung masih basah saat bel sekolah berbunyi pelan. Dari arah barak sederhana, suara langkah kaki kecil terdengar bersamaan.
Tiga anak berlari kecil mendekati halaman, memakai seragam baru yang terlihat agak besar di tubuh mereka yang kecil. Wajah mereka bersinar, seakan hari itu adalah lembaran pertama dari kehidupan yang lebih cerah.
Rumah Baru dan Harapan
Sekolah Rakyat di Kabupaten Bandung masih memanfaatkan bangunan di Sarana Olahraga (SOR) Stadion Si Jalak Harupat (SJH). Sekolah tersebut berlokasi di tengah area persawahan dan perbukitan, tanpa adanya pagar tinggi atau dinding yang megah.
Namun di baliknya, berdiri teguh semangat dan cinta yang melindungi anak-anak dari keluarga yang kurang mampu.
Rahma (13), Beni (12), dan Yani (13), tiga siswa kelas VII, kini menjadi bagian dari sebuah sekolah yang bagi mereka bukan hanya tempat belajar, tetapi juga rumah baru untuk mengembangkan harapan.
Rahma tidak pernah menyangka, doa dan harapannya yang sering ia hantarkan ke langit, mengarahkannya ke Sekolah Rakyat.
"Saya tidak menyangka bisa belajar di sini," ujar Rahma pelan, saat diwawancarai Kamis (16/10/2025).
Jualan Gorengan, Tidur di Lantai
Sekolah Rakyat, mengubah segalanya. Dahulu Rahma harus menjual makanan gorengan di Pasar Pangalengan agar bisa membeli buku dan seragam baru. Kini, pemerintah seakan mengakhiri kisah itu, dengan fasilitas yang tersedia.
"Dulu, saya membantu ibu menjual makanan gorengan di pasar. Memiliki seragam sekolah saja sulit, apalagi buku," katanya.
Apa yang diraih Rahma, mulai dari seragam, buku, alat tulis, hingga makan tiga kali sehari, terasa seperti mimpi di siang hari.
Tidak ketinggalan, di barak Rahma dan tempat-tempat lain sering terjadi candaan mengenai fasilitas yang mereka peroleh.
"Semua terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan," katanya dengan senyum lebar.
Begitu pula dengan Beni, Sekolah Rakyat seperti dunia yang tidak pernah ia bayangkan. Bagaimana tidak, Beni tidur di barak dengan tempat tidur yang nyaman, selimut yang hangat, bahkan dia bisa mandi menggunakan air yang hangat.
Sebelumnya, Beni sering tidur di lantai ruang bilik yang bocor, diiringi suara angin malam dan cahaya lampu minyak kecil.
"Seperti mimpi, sekarang tergantung pada seriusnya saya belajar," kata Beni.
Sekolah Rakyat: Tempat Menyembuhkan
Yani, seorang gadis yang diam dan memiliki rambut diikat dua, menyebut Sekolah Rakyat sebagai tempat yang memberikan penyembuhan.
Ia menceritakan bagaimana dahulu sering mengalami lapar saat ayahnya, seorang pekerja konstruksi, tidak memperoleh pekerjaan.
"Sekarang saya tidak pernah merasa takut lapar. Di sini kami diberi makan secara gratis. Saya bisa belajar tanpa khawatir perut kosong," katanya dengan pelan.
Sekolah Rakyat menyediakan lebih dari hanya pembelajaran resmi. Terdapat rasa nyaman, ada harapan yang berkembang perlahan, serta keyakinan bahwa kemiskinan bukan akhir dari suatu perjalanan.
Sebelum mengenyam pendidikan di sini, ketiganya menjalani masa yang berat.
Rahma terbiasa berjalan sejauh dua kilometer untuk membeli minyak goreng di pasar, terkadang ia ikut membantu ibunya hingga larut malam.
Beni mengangkat kantong yang berisi sayuran, menggantikan ayahnya yang sedang sakit.
Sementara Yani sering mengasuh adiknya di rumah sambil melihat teman sebaya pergi ke sekolah.
"Saya kira sekolah hanya untuk anak yang memiliki uang, tetapi ketika mendengar ada Sekolah Rakyat yang gratis, saya langsung meminta orang tua mendaftarkan saya." ujar Beni.
Ia masih sangat mengingat bagaimana ibunya menangis saat surat penerimaan itu tiba.
"Ketawa bahagia, bukan sedih," katanya pelan.
Sekarang, setiap pagi mereka bangun pukul lima. Setelah melakukan doa dan makan pagi, mereka membersihkan kamar tidur, mengatur sepatu, kemudian berbaris menuju ruang kelas. Disiplin menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran di sekolah ini.
"Kami diajarkan untuk mandiri," kata Yani.
"Jika lupa merapikan tempat tidur, Ibu Guru memintaku kembali sampai rapi," tambahnya.
Namun bukan hanya aturan yang menjadi penyebab perkembangan mereka. Terdapat kasih sayang dari para guru yang sabar membimbing anak-anak tersebut dengan penuh perhatian.
“Bu Guru sering berkata, jangan takut memiliki mimpi yang tinggi, karena jika kita tidak memiliki mimpi, kita tidak memiliki tujuan.” ujar Rahma.
Cita-Cita dari Ruang Sederhana
Rahma memiliki impian menjadi seorang guru matematika. Ia berharap dapat membantu anak-anak di kampungnya yang sebelumnya tidak memiliki kesempatan seperti yang ia miliki.
"Jika saya bisa sampai di sini, mengapa mereka tidak?" katanya dengan percaya diri.
Beni memiliki impian menjadi seorang polisi. Ia berharap dapat menjunjung keadilan dan membanggakan orangtuanya.
"Ayah saya berkata, jika ingin membantu orang, jadilah terlebih dahulu seseorang yang tangguh," katanya.
"Saya berusaha keras agar kelak bisa mengenakan seragam kebanggaan itu." katanya.
Yani memiliki impian yang lembut namun besar: menjadi seorang perawat. Sederhana, Yani berharap dapat melihat orang lain tersenyum karena merasa pulih.
"Kami ingin orang lain juga bisa pulih, bisa tersenyum kembali," katanya.
Sekolah Rakyat membangkitkan semangat mereka melalui sarana yang menjadikan semua anak setara.
Tidak ada yang merasa malu karena tidak memiliki sepatu, tidak ada yang merasa kurang percaya diri karena membaca buku bekas.
"Semua diberikan oleh sekolah, jadi yang terpenting saat ini hanyalah rajin belajar," ujar Beni.
Melihat Langit, Menganyam Masa Depan
Sore di dalam tenda, cahaya lampu redup berkilauan di dinding kayu. Rahma dan Yani sering belajar bersama sambil mencatatkan pikiran mereka. Terkadang mereka tertawa, terkadang diam lama menatap halaman kosong, seolah sedang menggambar masa depan dengan tinta harapan.
Tentu, ada keinginan yang tak bisa dihindari. Mereka jauh dari rumah dan orang-orang tercinta.
"Di malam hari, saya sering teringat ibu, tetapi saya memahami bahwa jika saya ingin membuat ibu bangga, saya harus menjadi lebih kuat," ujar Yani dengan lembut.
Sekolah ini mengajarkan makna kebersamaan. Setiap siswa belajar saling membantu, berbagi makanan, dan menepuk bahu ketika salah satu merasa sedih.
"Kami seperti keluarga, jika satu kesulitan, yang lain akan membantu," kata Rahma.
Saat senja tiba, ketika matahari mulai menghilang di balik megahnya Stadion, Rahma, Beni, dan Yani memandang langit dengan mata yang bersinar.
Terdapat semangat dan harapan yang terpahat dalam mata mereka masing-masing. Paling tidak, bagaimana cara membuat orang tua di rumah merasa bangga.
Di bawah langit jingga yang perlahan memudar, tiga anak berdiri tegak bukan hanya sebagai murid Sekolah Rakyat, tetapi penggubah masa depan yang lahir dari kehidupan sederhana dan berkembang menjadi cahaya.
Posting Komentar