Mitos Intelijen Israel yang Super Canggih Dihancurkan Hamas

.CO.ID, JAKARTA -- Selama puluhan tahun, Mossad dikenal sebagai lembaga intelijen dengan reputasi nyaris legendaris. Keberhasilannya dalam operasi-operasi rahasia di luar negeri membangun citra bahwa Israel selalu selangkah di depan musuh-musuhnya. Namun, dalam perang melawan Hamas, mitos itu perlahan retak.
Kali ini, mereka tidak berhadapan dengan negara berstruktur jelas, melainkan dengan sebuah gerakan perlawanan yang lahir dari denyut nadi masyarakat Gaza sendiri. Inilah akar masalah yang membuat Mossad kewalahan — Hamas bukan entitas asing, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari warga Gaza, menyatu dalam jaringan sosial yang sulit ditembus.
Struktur organisasi Hamas yang sangat terdesentralisasi membuat situasi semakin rumit. Para pemimpinnya beroperasi dalam sel-sel kecil yang independen dan jarang saling berhubungan secara langsung.
Komunikasi dilakukan secara manual, tanpa teknologi tinggi, agar tak mudah dilacak sinyal digitalnya. Cara kerja seperti ini membuat Mossad kesulitan memetakan hubungan komando, apalagi mencari “titik lemah” yang bisa dilumpuhkan secara efektif.
Di sisi lain, keunggulan teknologi militer Israel tidak banyak berarti ketika berhadapan dengan “dunia bawah tanah” Hamas. Jaringan terowongan yang dikenal sebagai “Gaza Metro” terbentang luas di bawah kota — bukan hanya sebagai jalur logistik dan penyelundupan, tetapi juga sebagai pusat kendali operasi, tempat peluncuran roket, hingga ruang persembunyian.
Bahkan teknologi satelit dan sensor termutakhir pun belum mampu memetakan keseluruhan labirin itu dengan akurat.
Strategi Israel yang selama ini bertumpu pada kekuatan udara dan intelijen digital juga terbukti tidak efektif dalam menghadapi gerakan berbasis ideologi seperti Hamas. Setiap pemimpin yang gugur segera digantikan oleh kader baru.
Serangan udara yang disebut “presisi” justru sering menambah amarah dan memperkuat semangat perlawanan. Mossad bisa saja berhasil menyingkirkan individu, tetapi gagal memadamkan keyakinan yang menyalakan perlawanan itu.
Puncak kegagalan intelijen Israel terjadi pada 7 Oktober 2023, saat Hamas melancarkan serangan besar-besaran tanpa terdeteksi sama sekali. Serangan itu melibatkan ratusan militan, menembus pagar perbatasan yang disebut “teraman di dunia,” dan mengejutkan seluruh lapisan keamanan Israel.
Fakta bahwa Mossad dan Shin Bet tidak mendeteksi persiapan serangan tersebut menjadi pukulan telak terhadap reputasi mereka.
Pasca peristiwa itu, tekanan publik dan politik memaksa Israel melancarkan operasi darat besar-besaran. Namun, hasilnya justru memperlihatkan kelemahan baru.
Informasi intelijen di lapangan kerap tidak akurat, menyebabkan banyak korban di pihak tentara Israel dan warga sipil Palestina. Kepemimpinan Hamas tetap utuh, sandera belum seluruhnya dibebaskan, dan citra Israel makin terpuruk di mata dunia.
Di medan perang informasi, Mossad juga kehilangan kendali narasi. Hamas berhasil menggiring opini global bahwa mereka adalah simbol perlawanan terhadap penjajahan, sementara serangan brutal Israel dinilai tidak proporsional. Perang pun bergeser dari sekadar fisik menjadi pertarungan legitimasi moral — dan dalam arena ini, Israel mulai kehilangan simpati dunia.
Kombinasi dari semua faktor — kegagalan intelijen, korban yang terus bertambah, tekanan diplomatik, dan kekalahan dalam perang opini — akhirnya memaksa Israel menerima gencatan senjata.
Bagi banyak pengamat, jeda ini bukan tanda kemenangan, melainkan pengakuan bahwa pendekatan militer dan intelijen semata tidak cukup untuk menundukkan Hamas.
Kini, mitos keunggulan mutlak Mossad dipaksa berhadapan dengan realitas baru: bahwa teknologi canggih tak selalu bisa menaklukkan perlawanan yang tumbuh dari keyakinan dan penderitaan kolektif. Semakin keras tekanan yang diberikan, semakin kuat pula akar ideologi Hamas mencengkeram tanah Gaza.
Gencatan senjata hanyalah jeda, bukan akhir. Ia menjadi cermin bahwa dalam peperangan modern, kemenangan tak lagi diukur dari jumlah target yang dieliminasi, tetapi dari kemampuan membaca dan memahami manusia di balik konflik — sesuatu yang, sejauh ini, gagal dilakukan oleh Mossad.
Posting Komentar