News Breaking
MEDKOM LIVE
wb_sunny

Breaking News

Buaya Terlantar di Jerambah Gantung: Tragedi Seruni Tenggelam

Buaya Terlantar di Jerambah Gantung: Tragedi Seruni Tenggelam

Buaya Terlantar di Jerambah Gantung: Tragedi Seruni Tenggelam

medkomsubangnetwork, BANGKA- Aroma tajam tercium dari salah satu tepian aliran sungai Jerambah Gantung, yang berlokasi di Kecamatan Gabek, Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Aroma tersebut bersumber dari jenazah buaya yang ditemukan tak bernyawa di aliran sungai itu minggu lalu. Selama dua hari berturut-turut, penduduk sekitar mendapati bangkai buaya tersebut.

Satu bangkai buaya berukuran cukup besar, sekitar empat meter ditemukan mengambang di sungai pada Sabtu (8/11/2025). 

Belakangan buaya yang mati itu disebut bernama Seruni. Pemberian nama dilakukan seorang warga.

Berselang satu hari, ada lagi buaya yang berukuran lebih kecil, sekitar tiga meter, mengambang di lokasi yang berdekatan. Warga menduga buaya itu sengaja diracun.

Meski terganggu bau bangkai buaya, warga dan nelayan yang biasa beraktivitas di aliran sungai hanya bisa pasrah. Pasalnya mereka tidak mampu mengubur dua bangkai tersebut. 

Bangkai buaya tersebut diikat dan dibiarkan terapung di sungai sampai akhirnya karam.

“Begitu perutnya pecah dan gasnya keluar, barulah bangkai itu tenggelam. Selanjutnya, bangkai tersebut akan dimakan oleh udang, ikan dasar, atau bahkan buaya lain,” ujar Arew, seorang penduduk yang bermukim di dekat Jembatan Jerambah Gantung, kepada Bangka Pos Group pada Jumat, 14 November 2025.

Arew menginformasikan bahwa hanya satu dari bangkai buaya yang ditemukan di lokasi yang telah disepakati bersama warga. Bangkai yang lain terseret arus sungai yang kuat.

“Begitu pecah dan gasnya keluar, ia akan tenggelam. Bangkainya kemudian akan dimakan oleh udang, ikan dasar, dan mungkin buaya lainnya,” jelasnya.

Diduga Dipancing

Seorang nelayan berusia 45 tahun bernama Mantul, yang sedang bersiap untuk mencari udang pada Sabtu pagi (8 November 2025), dilaporkan menerima informasi mengenai penemuan bangkai buaya di aliran Sungai Jerambah Gantung.

Rekannya yang mendatangi pos nelayan di bawah Jembatan Jerambah Gantung mengabarkan hal tersebut.

Setelah mendengar berita tersebut, Mantul dan empat rekannya langsung menghubungi kepala desa setempat guna memohon izin peminjaman perahu wisata yang lazimnya digunakan untuk mengelilingi area Jerambah Gantung.

"Kami khawatir jika bangkai buaya dibiarkan di sungai, itu akan menarik buaya lain untuk datang dan memakannya. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk mengevakuasi dan menguburkannya," jelas Mantul ketika diwawancarai di bawah Jerambah Gantung.

Sesudah memperoleh izin, Mantul bersama empat rekannya naik ke perahu motor dengan mesin 15 PK yang panjangnya kurang lebih 8 meter, kemudian bergerak menuju titik bangkai buaya yang berjarak sekitar 10 menit dari dermaga nelayan.

Setibanya di sana, kami mendapati seekor buaya tergeletak telentang, perutnya terlihat. Dari mulut buaya itu menjulur keluar sebuah seling pancing besi seukuran jari kelingking pria dewasa, dengan panjang kurang lebih 1 meter. Seling tersebut terhubung ke tali pancing yang melilit badan buaya, dan ujungnya tertancap pada dua batang kayu besar di

pinggir sungai,” ucap Mantul.

"Kayu itu tertanam sangat dalam, sehingga kami perlu menggunakan kapal untuk menariknya. Proses penarikan itu sendiri memakan waktu sekitar 30 menit sebelum akhirnya terlepas dan bisa dibawa ke daratan," jelas Mantul.

Ditarik Mobil

Setelah buaya berhasil dinaikkan ke darat, proses pengangkutannya pun berjalan dengan penuh tantangan.

Untuk mengangkat buaya yang bertubuh besar dan berat itu, para nelayan memerlukan bantuan sebuah mobil.

Mantul memperkirakan panjang buaya itu sekitar 4 meter dengan lebar badan kurang lebih 60 cm. Begitu buaya itu muncul di darat, puluhan warga sekitar segera berdatangan.

Banyak orang mengambil foto dan ingin mengamati lebih dekat, sebab jarang sekali terlihat buaya sebesar itu muncul di sungai yang berdekatan dengan pemukiman warga.

Akan tetapi, timbul kendala saat masyarakat berupaya menguburkan buaya itu.

Alat berat yang biasanya ada di lokasi ternyata telah dipindahkan, sehingga para nelayan tidak bisa menggali lubang menggunakan

alat manual karena ukuran buaya terlalu besar.

Pada pukul 11.30 WIB, buaya tersebut akhirnya kembali diikat di pinggir sungai sambil menunggu alat berat datang.

Dari pantauan Bangka Pos Group pada pukul 13.00 WIB, bangkai buaya sudah mulai mengeluarkan bau amis menyengat. 

Seling pancing besar masih terlihat menggantung dari mulut buaya. Ketika ditanya lebih lanjut, para nelayan menjelaskan bahwa mata pancing yang digunakan untuk menjerat buaya sudah tidak tampak. 

“Sepertinya mata pancing sudah masuk jauh ke dalam perut buaya. Mau buka mulutnya juga susah karena sudah kaku,” ujar salah satu nelayan.

Mantul menceritakan ini adalah kedua kali penemuan buaya dengan kasus dan penyebab yang sama pada tahun.

“6 bulan yang lalu sama juga kami menemukan buaya dengan lokasi yang tidak jauh dari penemuan ini ukuran buaya juga sama, dengan seling pancing ukuran juga sama,” ucap Mantul.

Mantul berharap untuk tidak menganggu habitat buaya karena mereka dan para nelayan menggantungkan hidup di sungai tersebut ditakutkan ketika bangkai buaya yang banyak maka akan mengundang buaya juga.

Diduga Racun

Hanya berselang sehari dari temuan pertama, seekor buaya sepanjang sekitar tiga meter kembali ditemukan dalam kondisi mati mengambang, Minggu (9/11/2025) sekitar pukul 16.00 WIB. 

Penemuan kedua ini pertama kali diberitakan oleh Mantul, seorang nelayan setempat yang sebelumnya juga ikut dalam upaya penyelamatan buaya tersebut.

“Situasinya sama seperti kemarin, sudah tidak bernyawa dan mengapung. Terdapat kail di mulutnya. Namun kali ini, kail tersebut terikat pada tali plastik kecil, berbeda dengan yang pertama yang menggunakan seling besi,” jelas Mantul pada hari Minggu, 9 November 2025.

Buaya kedua ditemukan tidak jauh dari lokasi penemuan buaya pertama, kira-kira setengah jam naik perahu dari bawah Jerambah Gantung.

Ketika proses evakuasi berlangsung, tali yang tadinya melilit tubuh buaya terlepas. Hal ini menyebabkan umpan berupa usus ayam yang berbau tajam, dan diduga telah dicampur racun, tertinggal.

“Umpan itu jelas diracun. Buayanya mati karena makan umpan. Ini sudah unsur kesengajaan,” tegas Mantul.

Ia menuturkan, proses evakuasi kali ini lebih mudah karena ukuran buaya lebih kecil dibanding buaya pertama yang panjangnya mencapai empat meter.

Bangkai buaya kemudian diamankan ke tepi sungai sebelum dikembalikan ke perairan.

Dua temuan beruntun dalam waktu 24 jam membuat warga dan nelayan mulai resah.

"Kami berharap pihak berwenang dapat mengusut pelaku yang sengaja memancing dan meracuni buaya tersebut. Jika dibiarkan, hal ini dapat menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat," ujarnya.

Menurut Mantul, buaya yang berada di area Sungai Jerambah Gantung tidak pernah menimbulkan masalah bagi penduduk setempat.

"Di sini banyak buaya, ukurannya beragam mulai dari yang kecil hingga yang mencapai delapan meter. Namun, ketika melihat manusia, mereka justru kabur. Buaya-buaya ini tidak pernah menyerang," ujarnya.

Oleh sebab itu, serangkaian kematian buaya dipandang sebagai perusakan tatanan alam di sungai.

"Buaya itu berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Mengingat tidak ada aktivitas pertambangan atau teknologi informasi di area ini, tindakan tersebut jelas dilakukan semata-mata untuk kesenangan pribadi," tambah Mantul.

Meskipun identitas pelaku belum terungkap, masyarakat dan para nelayan secara sukarela mengevakuasi setiap bangkai buaya. Hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya bau tidak sedap serta menghindari datangnya buaya lain.

Bukan Sembarangan

Arew menambahkan, keputusan untuk tidak mengubur kedua bangkai buaya tersebut tidak dibuat secara asal-asalan.

Para pencari nafkah di laut sudah memikirkan berbagai kemungkinan, tetapi keadaan fisik bangkai kapal dan medan yang tidak bersahabat membuat penguburan tidak dapat dilakukan.

"Kami sudah mempertimbangkan, ingin menguburnya namun tidak memungkinkan. Buayanya memiliki panjang empat meter, sangat berat, dan sudah membengkak. Cara penguburan tradisional tidak bisa dilakukan, lambat, dan tidak efektif," ujar Arew.

Penggalian lubang di wilayah tersebut digambarkan sangat menantang.

Setiap kali cangkul menancap, tanah di sekelilingnya sedikit berlumpur dan berair, kemudian lumpur itu kembali menggenang menutupi lubang yang baru saja dibuat.

“Lubangnya harus minimal satu meter dalamnya. Ini penting agar tidak menimbulkan bau dan terhindar dari gangguan anjing. Namun, kondisi tanah di sini sangat lembek. Sekadar menggali sedikit saja, tanahnya langsung ambles kembali,” jelasnya seraya menunjuk ke arah area berlumpur yang memerlukan kehati-hatian ekstra saat dilalui.

Selain itu, bangkai buaya telah mengalami pembusukan parah. Buaya tersebut menggembung, kulitnya mengendur dan terkelupas, serta mengeluarkan bau amis yang menyengat.

“Aduh, baunya tidak tertahankan lagi. Makanya kami segera memutuskan,” ia melanjutkan.

Satu Kilometer

Setelah berdiskusi, para nelayan memutuskan untuk memakai tali tambang yang ukurannya setebal jari kelingking pria dewasa.

Tali tersebut dililitkan pada badan buaya, khususnya di area kepala yang lebih kokoh, kemudian bangkai itu ditarik perlahan menggunakan perahu kecil.

Proses tersebut memakan waktu 15 menit. Arew dan dua rekannya terpaksa berhenti sejenak berkali-kali karena rasa mual yang timbul akibat bau busuk yang semakin menyengat.

"Pertama-tama kami mengikatnya dengan kencang. Kemudian kami menariknya ke arah hilir. Lokasinya kira-kira satu kilometer dari tempat nelayan biasa melintas menuju laut Pangkalbalam," terangnya.

Pemilihan lokasi tersebut bukan tanpa pertimbangan. Di lokasi itu, arus air lebih teratur dan bangkai tidak berada di dekat pemukiman penduduk.

“Tempat itu paling aman. Jika dibiarkan di dekat jembatan, semua orang yang melintas pasti akan mengeluh karena baunya,” kata Arew.(x1) 

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar