News Breaking
MEDKOM LIVE
wb_sunny

Breaking News

Irene Sokoy dan Kesenjangan Kesehatan Papua

Irene Sokoy dan Kesenjangan Kesehatan Papua

Tragedi Irene Sokoy: Cermin Buruknya Layanan Kesehatan di Papua

Kasus meninggalnya Irene Sokoy dan bayinya setelah ditolak oleh empat rumah sakit di Papua telah mengguncang perhatian publik di seluruh negeri. Peristiwa tragis ini bukan hanya sekadar insiden terisolasi, melainkan sebuah cerminan suram dari tingkat kematian ibu dan bayi di Papua yang jauh melampaui rata-rata nasional, menggarisbawahi masalah sistemik yang mendalam dalam sektor kesehatan di wilayah tersebut.

Kronologi Menyakitkan: Perjuangan yang Berakhir Tragis

Kisah Irene Sokoy bermula pada suatu Ahad pekan lalu, saat ia mulai merasakan kontraksi di Kampung Hobong, pesisir Danau Sentani, Kabupaten Jayapura. Perjalanan menuju fasilitas kesehatan terdekat, RSUD Yowari, memerlukan kombinasi transportasi perahu cepat dan perjalanan darat sepanjang kurang lebih 20 kilometer. Setibanya di RSUD Yowari pada pukul 15.00 WIT, Irene dalam kondisi pembukaan enam dan ketuban telah pecah. Namun, penanganan persalinan tak kunjung diberikan. Pihak rumah sakit beralasan bahwa bayi diperkirakan berukuran besar, mencapai empat kilogram, dan satu-satunya dokter spesialis kandungan yang bertugas sedang mengambil cuti.

Sejumlah pasien berada di teras gedung Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jayapura, Papua, Jumat (16/7/2021). - (ANTARA FOTO/Indrayadi TH)

Melihat kondisi Irene yang semakin memburuk dan gelisah, keluarga meminta percepatan rujukan. Namun, surat rujukan baru selesai menjelang tengah malam, disusul keterlambatan ambulans yang baru tiba pukul 01.22 WIT. Rujukan ke RS Dian Harapan dan RS Abe ditolak dengan alasan ruangan penuh dan fasilitas sedang renovasi. Upaya terakhir menuju RS Bhayangkara pun kandas karena pasien tidak diterima tanpa uang muka sebesar Rp 4 juta. Dalam perjalanan menuju RSUD Jayapura di Dok II, Irene mengalami kejang, memaksa ambulans kembali ke RS Bhayangkara. Setibanya di sana, upaya resusitasi (CPR) dilakukan, namun nyawa Irene dan bayinya tidak dapat diselamatkan. "Irene meninggal dalam perjalanan pukul 05.00," ujar iparnya, Ivon Kabey, menceritakan detik-detik terakhir yang pilu.

Respons Pemerintah dan Sorotan Nasional

Kabar duka ini segera mencapai Jakarta, memicu respons cepat dari Kementerian Kesehatan. Kemenkes menyatakan akan mengirimkan tim investigasi ke Papua. Juru Bicara Kemenkes, Widyawati, menegaskan bahwa penolakan pasien oleh rumah sakit merupakan pelanggaran Undang-Undang Kesehatan yang dapat berujung pada sanksi pidana.

Gubernur Papua, Mathius Fakhiri, mengakui kasus ini sebagai peringatan keras bagi pemerintah daerah untuk segera memperbaiki sistem layanan kesehatan secara menyeluruh. Presiden Prabowo Subianto pun tidak tinggal diam. Melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Presiden memerintahkan audit rumah sakit di Provinsi Papua.

Keterangan Mendagri Tito Karnavian soal kasus meninggalnya Irene Sokoy di Istana Kepresidenan, Selasa (24/11/2025).

"Perintah beliau untuk segera lakukan perbaikan audit. Melakukan audit internal masalahnya di mana. Dikumpulkan rumah sakit-rumah sakit itu, termasuk juga pejabat-pejabat yang di Dinas Kesehatan dan lain-lain, baik provinsi, kabupaten, dan yang (rumah sakit) swasta," ujar Mendagri Tito dari Istana Kepresidenan Jakarta. Ia menambahkan bahwa tim dari Kemendagri akan berkoordinasi dengan Kemenkes untuk melakukan audit paralel. "Pesan Pak Presiden jelas, jangan sampai kejadian seperti ini terulang. Segera lakukan audit untuk mengetahui pokok masalahnya dan lakukan perbaikan," tegas Tito. Ia juga menekankan pentingnya pemerintah daerah segera mengumpulkan seluruh pemangku kepentingan di sektor kesehatan untuk mengidentifikasi akar persoalan dan meminta Gubernur untuk segera mengunjungi keluarga korban serta memberikan bantuan.

Angka Kematian Ibu dan Bayi: Jurang yang Menganga

Kasus Irene Sokoy bukanlah insiden yang berdiri sendiri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru yang dihimpun pada tahun 2020 dan diperbarui pada 2023, menunjukkan angka kematian ibu melahirkan di Indonesia rata-rata 189 per 100.000 jiwa. Namun, angka ini melonjak drastis di wilayah timur Indonesia. Di Papua, angka kematian ibu melahirkan mencapai 565 per 100.000 jiwa, sementara di Papua Barat angkanya adalah 343 per 100.000 jiwa. Angka ini sangat kontras dengan Jakarta yang hanya mencatat 48 kematian ibu per 100.000 jiwa.

Situasi serupa terlihat pada angka kematian bayi. Di tingkat nasional, angka kematian bayi adalah 16,85 per 100.000 jiwa. Di Papua, angka ini mencapai 38,17 dan di Papua Barat 37,06. Angka tahun 2020 ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan tahun 2010, di mana angka kematian bayi di Papua adalah 19 dan di Papua Barat 28. Di Jakarta, pada tahun 2020, angka kematian bayi tercatat 10,38 per 100.000 bayi.

Akar Masalah: Keterbatasan Tenaga Medis dan Infrastruktur

Angka-angka yang mengkhawatirkan ini berkorelasi erat dengan berbagai permasalahan di Tanah Papua. Kementerian Kesehatan mencatat bahwa dari sekitar 10.000 Puskesmas di Indonesia, 272 di antaranya tidak memiliki dokter. Ironisnya, 152 Puskesmas tanpa dokter tersebut berlokasi di Papua. Jika dokter spesialis dihitung, jumlah Puskesmas di Papua yang kekurangan dokter spesialis mencapai 411.

Keterbatasan dokter ini seringkali memaksa pasien menempuh perjalanan jauh ke rumah sakit, seperti yang dialami Irene. Bahkan ketika sampai di RSUD, belum tentu ada dokter spesialis yang tersedia. Data Kemenkes menunjukkan bahwa ada 26 RSUD di Papua yang tidak memiliki tujuh dokter spesialis lengkap.

Kondisi Tiga DOB Papua

Fenomena ini bukanlah hal baru. Pada tahun 2018, kematian anak-anak di Asmat, pegunungan tengah Papua, telah mengindikasikan parahnya layanan kesehatan di wilayah tersebut. Ketua Program Studi P3 Kebidanan Timika, Innah Gwijangge, mencontohkan kondisi miris di Kabupaten Nduga. Di daerah seluas hampir empat kali DKI Jakarta itu, hanya terdapat satu rumah sakit yang dibangun, namun tidak beroperasi karena hanya memiliki satu dokter.

Kisah serupa diungkapkan oleh Robby Kayame, kepala Dinas Kesehatan Paniai kala itu. Dari 30 Puskesmas di Kabupaten Paniai, hanya dua yang memiliki dokter. Ia menjelaskan bahwa keterbatasan ini bukan karena enggan membayar dokter, melainkan karena tidak ada satupun dokter yang mendaftar untuk bekerja di Paniai pada tahun 2016 dan 2017. "Sekarang yang banyak ‘dokter mama’. Begitu selesai sekolah maunya dekat mama," kelakarnya.

Petugas kesehatan di wilayah pegunungan Papua juga harus berjuang menembus medan yang sulit. Di Paniai, setiap Puskesmas, termasuk di daerah terpencil, biasanya hanya diisi lima hingga enam petugas kesehatan. Keluhan serupa datang dari pimpinan dinas kesehatan di sepuluh kabupaten di Papua. Di Boven Digul, dari 20 Puskesmas, hanya dua yang memiliki dokter. Di Asmat, banyak Puskesmas dan Puskesmas pembantu terbengkalai karena tidak adanya tenaga kesehatan.

Di Biak Numfor, tujuh Puskesmas di wilayah kepulauan tidak terisi tenaga kesehatan. Dari sepuluh slot dokter yang dibuka, hanya dua yang mendaftar, padahal akses ke wilayah tersebut lebih mudah dibandingkan daerah pedalaman lainnya.

Selain minimnya tenaga kesehatan, masalah anggaran juga menjadi kendala. Di Biak Numfor, dari dana kesehatan setempat sebesar Rp 15 miliar, hanya 20 persen yang turun, dan itu pun hanya cukup untuk membayar tenaga kontrak.

Direktur Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Jayapura, Ishak Tukayo, menyatakan bahwa lulusan tenaga kesehatan dari Papua sebenarnya cukup banyak, mencapai seribu lulusan setiap tahunnya. Namun, ia menyayangkan banyak lulusan yang setelah selesai pendidikan justru tidak jelas keberadaannya. "Tapi waktu selesai dia ambil ijazah terus pergi ke mana begitu," ujarnya. Ishak berpendapat bahwa masalah kurangnya tenaga kesehatan di Papua lebih disebabkan oleh manajemen personalia daerah yang tidak optimal.

Solusi dan Harapan ke Depan

Dudung Abdurachman, penasihat khusus Presiden Prabowo Subianto, mengakui bahwa ketimpangan distribusi dokter spesialis di daerah masih menjadi tantangan besar. Ia berencana menyampaikan masukan kepada Kementerian Kesehatan untuk penanganan lebih lanjut. "Nanti akan saya sampaikan kepada Kementerian Kesehatan karena mereka yang dapat melakukan distribusi langsung ke daerah-daerah,” ucapnya.

Dudung yakin bahwa para dokter telah dibekali pendidikan dan semangat nasionalisme. "Yang perlu kita benahi justru sistem distribusinya agar pemerataan bisa terjadi terutama di daerah tertinggal,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa perbaikan sistem distribusi adalah langkah krusial untuk memastikan layanan kesehatan merata. Pembangunan militansi dan semangat pengabdian para residen serta calon dokter spesialis juga dianggap penting.

Petugas kesehatan memberikan perawatan kepada sejumlah anak penderita gizi buruk dari kampung Warse, Distrik Jetsy di RSUD Agats, Kabupaten Asmat, Papua, Senin (22/1/2018). - (Antara/M Agung Rajasa)

Presiden Prabowo Subianto memfokuskan pemenuhan tenaga kesehatan sejalan dengan program Astacita, dengan perhatian besar pada kesejahteraan masyarakat, pangan, dan kesehatan. "Kita ingin kembali membangkitkan semangat para calon dokter yang nantinya bertugas di berbagai daerah," kata Dudung. Pemerintah juga berencana membentuk 30 fakultas kedokteran baru untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan dokter.

Anggota Komisi XIII DPR RI, Tonny Tesar, menekankan bahwa kasus ini bukan sekadar pelanggaran administrasi, melainkan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). "Negara memang wajib memberikan pelayanan kesehatan layak kepada seluruh warga tanpa terkecuali," tegasnya. Ia menyoroti bahwa keterbatasan dokter dan tenaga medis di Papua menunjukkan rendahnya perhatian terhadap peningkatan pelayanan kesehatan, terutama bagi Orang Asli Papua yang dilindungi Undang-Undang Otonomi Khusus.

Petugas kesehatan Puskesmas Agats menyeberangi Sungai Asewet dengan menggunakan kapal cepat untuk melaksanakan vaksinasi COVID-19 di Ewer, Asmat, Papua, Jumat (2/7/2021). - (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Tonny mendorong evaluasi menyeluruh terhadap sistem pelayanan kesehatan, bukan hanya mengganti pimpinan. Ia juga berharap layanan BPJS Kesehatan dapat disesuaikan dengan kondisi geografis dan keterbatasan fasilitas di Papua. Kolaborasi dengan pemerintah pusat untuk menetapkan kebijakan khusus penempatan dokter spesialis di Papua dengan jaminan keamanan dan kesejahteraan yang memadai juga menjadi harapan besar agar pelayanan kesehatan dapat berjalan optimal.

Petugas medis Puskesmas Agats melakukan pemeriksaan kesehatan warga yang akan menerima suntikan vaksin COVID-19 di Ewer, Asmat, Papua, Jumat (2/7/2021). - (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar