News Breaking
MEDKOM LIVE
wb_sunny

Breaking News

Bencana Sumatera: Ancaman Kemiskinan dan Pengangguran Baru

Bencana Sumatera: Ancaman Kemiskinan dan Pengangguran Baru

Dampak Bencana Sumatera: Ancaman Kemiskinan dan Pengangguran Baru

Bencana alam yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatera, khususnya Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, telah menimbulkan pukulan telak terhadap perekonomian masyarakat. Para pengamat menilai, skala kerusakan yang terjadi berpotensi besar menciptakan gelombang kemiskinan dan pengangguran baru yang signifikan.

Menurut Syafruddin Karimi, seorang pengamat ekonomi dari Universitas Andalas, bencana banjir bandang dan longsor di ketiga provinsi tersebut bukanlah sekadar peristiwa lokal yang bisa diabaikan. Ia menekankan bahwa bencana ini secara langsung menghantam fondasi ekonomi masyarakat, yaitu rumah, lahan pertanian, dan usaha kecil yang telah dibangun dengan susah payah selama bertahun-tahun.

"Rumah bagi jutaan warga di tiga provinsi ini bukan hanya sekadar tempat tinggal, melainkan juga tabungan seumur hidup dan jaminan masa tua," ujar Syafruddin. "Sawah dan ladang layaknya 'pabrik' keluarga yang stabil, menjadi sumber mata pencaharian yang mengalir dari musim ke musim."

Ketika bencana menyapu ribuan rumah dan lahan dalam waktu singkat, proses pemiskinan terjadi secara otomatis. Keluarga yang sebelumnya hidup pas-pasan terpaksa jatuh ke dalam jurang kemiskinan yang lebih dalam. Tabungan masyarakat lenyap, barang berharga hanyut terbawa arus, dan dokumen penting seperti surat berharga serta izin usaha tertimbun lumpur. Di banyak desa, rumah seringkali merangkap fungsi sebagai warung, kios, tempat produksi makanan ringan, atau bengkel sederhana. Kerusakan parah pada bangunan ini berarti hilangnya beberapa sumber pendapatan sekaligus dalam satu pukulan.

Dampak terhadap pengangguran juga tak kalah mengkhawatirkan. Buruh harian, pedagang kecil, sopir angkutan umum, pekerja sektor pariwisata, dan buruh tani mendadak kehilangan pekerjaan. Perusahaan skala kecil dan menengah terpaksa gulung tikar akibat gudang yang terendam, persediaan yang rusak, dan akses jalan yang terputus. Banyak pengusaha tidak mampu lagi membayar gaji karyawan, sehingga terpaksa merumahkan mereka.

Di sektor pertanian, petani tidak dapat menggarap sawah karena rusaknya jaringan irigasi dan terputusnya jalan usaha tani. Buruh tani yang menggantungkan hidup pada upah harian pun kehilangan sumber nafkah tanpa memiliki cadangan finansial. Kondisi ini secara nyata akan mendorong angka kemiskinan dan pengangguran ke arah yang memprihatinkan.

Meskipun statistik resmi baru akan mencatat kenaikan angka kemiskinan dan pengangguran beberapa bulan ke depan, di lapangan dampaknya sudah mulai terasa. Masyarakat terdampak mulai mengurangi porsi makan, menunda pengobatan, menarik anak dari sekolah berbayar, dan menjual sisa aset yang masih tersisa. Pelaku usaha kecil mengurangi jam operasional, memecat karyawan, atau bahkan berhenti berjualan sama sekali. Rantai ekonomi lokal di kampung dan kota kecil di Sumatera melemah, yang pada akhirnya akan menarik turun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah.

Kontribusi Sumatera terhadap Perekonomian Nasional dan Urgensi Status Bencana Nasional

Syafruddin menyayangkan adanya pernyataan dari pejabat pusat yang terkesan meremehkan dampak bencana di Sumatera terhadap target pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal, ketiga provinsi tersebut memiliki kontribusi yang jelas terhadap PDB nasional.

Keputusan pemerintah yang menetapkan bencana di Sumatera sebagai bencana daerah, bukan bencana nasional, menjadi sorotan. Syafruddin mengingatkan bahwa kontribusi Sumatera, khususnya Aceh, Sumut, dan Sumbar, terhadap pertumbuhan ekonomi nasional tidaklah kecil. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada kuartal III 2025, Pulau Sumatera menyumbang sebesar 22,42 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,04 persen. Pertumbuhan ekonomi Sumatera sendiri pada periode tersebut mencapai 4,9 persen.

Secara rinci, Aceh berkontribusi 0,25 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, Sumatera Utara sebesar 1,06 persen, dan Sumatera Barat sebesar 0,25 persen. Komoditas pertanian, hasil tambang, energi, dan konsumsi rumah tangga dari Sumatera turut menggerakkan mesin ekonomi Indonesia.

"Jika saat produktif kontribusinya dihitung, mengapa ketika bencana menghancurkan aset rakyat di wilayah itu pengaruhnya tiba-tiba dianggap 'tidak signifikan'?" tanyanya. "Di sinilah urgensi penetapan status bencana nasional menjadi sangat kuat."

Syafruddin menekankan bahwa penetapan status bencana nasional bukan sekadar simbolis. Status ini akan menggeser tanggung jawab utama dari tingkat provinsi ke tingkat negara, yang berarti mobilisasi sumber daya fiskal, logistik, dan kelembagaan yang jauh lebih besar. Presiden dapat mengorkestrasi berbagai lembaga seperti BNPB, TNI-Polri, Kementerian Sosial, PUPR, Kesehatan, Perhubungan, BUMN logistik, dan pemerintah daerah dalam satu komando yang terintegrasi.

Mekanisme pengadaan darurat, pembangunan hunian sementara, perbaikan infrastruktur seperti jembatan, dan pemulihan jaringan listrik akan bergerak lebih cepat dengan dasar hukum yang kuat. Penetapan status nasional juga akan membuka pintu solidaritas fiskal antar daerah, di mana pemerintah pusat dapat mendorong provinsi lain untuk menyalurkan bantuan keuangan yang terarah ke daerah terdampak. Bantuan ini dapat mempercepat rekonstruksi rumah warga, memperbaiki jalan dan jembatan, serta mendukung program padat karya untuk menyerap tenaga kerja lokal.

Selain itu, pemerintah dapat merancang paket kebijakan khusus berupa bantuan tunai terarah, modal kerja bagi usaha mikro, restrukturisasi kredit bagi petani dan pelaku UMKM, serta program perlindungan sosial adaptif bagi keluarga yang paling rentan.

Lebih dari itu, status bencana nasional akan mengirimkan sinyal moral yang kuat kepada masyarakat terdampak. Ini menunjukkan bahwa negara mengakui penderitaan jutaan warga di Sumatera sebagai urusan seluruh republik, bukan hanya beban tiga provinsi tersebut. Masyarakat yang mengungsi membutuhkan lebih dari sekadar tenda dan logistik; mereka membutuhkan kepastian bahwa negara hadir untuk memulihkan rumah, lahan pertanian, dan kesempatan kerja mereka. Kepercayaan publik akan tumbuh jika Presiden tampil sebagai pemimpin yang berani mengakui skala krisis dan mengambil langkah luar biasa untuk mengatasinya.

Syafruddin menegaskan bahwa bencana di Sumatera harus menjadi titik balik cara negara memandang hubungan antara bencana dan perekonomian. Rumah, sawah, dan pekerjaan rakyat tidak boleh hanya menjadi catatan statistik semata. Ketika tiga provinsi besar mengalami kerusakan masif, negara perlu menggeser fokus dari sekadar mengejar angka pertumbuhan ekonomi ke misi yang lebih mendasar: menahan lonjakan kemiskinan, mencegah gelombang pengangguran, dan memulihkan martabat warga yang tertimpa bencana. Penetapan status bencana nasional oleh Presiden akan menjadi langkah pertama yang tegas, sekaligus janji bahwa republik tidak meninggalkan Sumatera berjuang sendirian di tengah reruntuhan.

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar